Thursday, July 21, 2011

BAB PUASA


RINGKASAN FIKIH BAB PUASA

1. Definisi Puasa
Puasa berarti menahan, menurut syari’at puasa berarti menahan diri secara khusus dan dalam waktu tertentu serta dengan syarat-syarat tertentu pula. Menahan diri dari makan, minum, berhubungan badan serta menahan syahwat dari terbit fajar sampai terbenam matahari.

2. Kewajiban Puasa Ramadhan
Menurut Al-Qur’an, Hadits dan Ijma, puasa merupakan ibadah yang diwajibkan bagi muslimah yang berakal sehat dan telah baligh.

Qur’an Albaqarah 183 yang artinya : Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa, sebagaimana telah diwajibkan atas orang –orang sebelum kalian.

Hadits dari Thalbah bin Ubaidillah menceritakan: Ada seorang badui datang kepada Rasulullah dengan rambut yang kusut seraya bertanya: Wahai Rasulullah, beritahukan kepadaku shalat apa saja yang diwajibkan oleh Allah? Rasulullah menjawab : Hanya shalat lima waktu, kecuali jika kamu hendak menambahkannya dengan shalat sunnat. Orang itu bertanya kembali, beritahukan pula kepadaku puasa apa yang diwajibkan oleh Allah? Rasulullah menjawab, Hanya puasa Ramadhan, kecuali jika kamu hendak berpuasa sunnat.Orang tersebut bertanya lagi, Beritahukan kepadaku zakat apa yang harus aku bayarkan? Maka Rasulullah pun menerangkan kepadanya tentang syari’at islam. Akhirnya orang badui tersebut berkata, Demi Allah yang telah mengutusmu dengan kebenaran, sedikitpun aku tidak akan menambah ataupun mengurangi kewajiban yang telah difardhukan oleh Allah atas diriku. Rasulullah pun berkata, Beruntunglah jika ia benar atau akan dimasukkan kedalam surga jika benar ( HR. Muttafaqun Alaih).

Menurut Ijma kaum muslimin telah sepakat mewajibkan puasa pada bulan Ramadhan.

3. Beberapa Keutamaan Puasa
a. Dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda : Puasa itu perisai. Apabila salah seorang dari kalian berpuasa, hendaklah dia tidak berkata keji dan membodohi diri. Jika ada seseorang memerangi atau mengumpatnya, maka hendaklah ia mengatakan: Sesungguhnya aku sedang berpuasa, dengan zat yang jiwaku berada ditanganNya, sesungguhnya bau mulut yang keluar dari orang yang berpuasa itu lebih harum disisi Allah daripada bau kasturi.Orang yang puasa itu meninggalkan makanan dan minumannya untuk Allah. Maka puasa itu untuk Allah dan Allah yang akan memberikan pahala karenanya, kebaikan itu dibalas dengan sepuluh kali lipatnya (HR.Bukhari).
b. Dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda: Apabila datang bulan Ramadhan
maka dibukalah pintu-pintu surga dan ditutup pintu-pintu neraka serta semua setan dibelenggu (HR.Muslim).
Al-Qadhi mengatakan : Dibukalah pintu surga maksudnya agar hambaNya senantiasa berbuat ta’at pada bulan Ramadhan yang mana kesempatan itu tidak terdapat pada bulan-bulan lainya seperti, syalat taraweh, dan amal kebaikan lainnya yang semua itu merupakan kunci untuk dapat masuk surga. Sedangkan diutupnya pintu neraka dan dibelenggunya setan berarti supaya manusia menghindari berbagai macam pelanggaran
c. Dari Abu Umamah, Rasulullah bersabda : Aku pernah mendatangi Rasulullah seraya berkata: Perintahkankanlah kepadaku suatu amalan yang dapat memasukkan aku kesurga. Beliau menjawab, hendaklah kamu berpuasa, karena puasa itu merupakan amalan yang tidk ada tandingannya. Kemudian aku mendatangi Beliau untuk kedua kalinya dan beliau berkata dengan nasihat yang sama.(HR. Ahmad, Nasa’i dan Al Hakim).
d. Dari Sahal bin Sa’ad, Rasulullah bersabda: Sesungguhnya surga itu mempunyai satu pintu Babu ArRayyan, pada hari kiamat nanti pintu itu akan bertanya, dimana orang-orang yang berpuasa ? Apabila yang terakhir dari mereka telah masuk, maka pintu itupun akan tertutup (HR. Muttafaqun Alaih).
e. Dari Abu Sa’id Al-khudri, Rasulullah bersabda: Tidaklah seorang hamba berpuasa pada suatu hari dijalan Allah, melainkan dengan hari itu Allah akan menjauhkan api neraka dari wajahnya selama tujuh puluh musim ( HR. Jama’ah kecuali Abu Dawud).
f. Dari Abdullah bin Amr bin Al Ash, Rasulullah bersabda: Berpuasa dan membaca alQur’an akan memberikan safa’at kepada seseorang hamba pada hari kiamat kelak.Amalan puasanya akan berkata Ya Allah, aku telah melarangnya dari makanan, minum dan nafsu syahwat pada siang hari, sehingga ia telah menitipkan safa’at kepadaku. Amalan membaca Alqur’an berkata, Aku telah melarangnya tidur dimalam hari sehingga ia telah menitipkan safa’at kepadaku(HR.Ahmad, sanad shahih).
g. Dari Abu Hurairah Rasulullah bersabda : Barang siapa memberikan nafjah untuk dua istri dijalan Allah, maka ia akan dipanggil oleh salah satu dari pintu surga: Wahai hamba Allah, kemarilah untuk menuju kenikmatan. Barangsiapa berasal dari golongan orang-orang yang senantiasa mendirikan salat, maka dia akan dipanggil dari pintu salat,yang berasal dari kalangan yang suka berjihad, maka akan dipanggil dari pintu jihad,demikian juga dengan golongan yang berpuasa akan dipanggil dari pintu Rayyan, yang suka bersedekah akan dipanggil dari pintu sedekah. Abu Bakar bertanya Demi ayah dan ibuku wahai Rasulullah apakah setiap hamba akan dipanggil dari pintu-pintu tersebut? Lalu mungkinkah seseorang dipanggil dari seluruh pintu tersebut? Beliau menjawab, Ya, ada dan aku berharap engkau wahai Abu Bakaryang termasuk salah seorang diantara mereka (HR.Bukhari).
h. Puasa mengajarkan kesabaran serta menambah keimanan, mengajarkan pengendalian diri dan tingkah laku yang baikdan membantu kesembuhan berbagai macam penyakit seperti kencing manis, darah tinggi, maag.
Seperti sabda Rasul: Berpuasalah, niscaya engkau akan sehat (HR. Ibnu Adi dan Thabrani)
i. Puasa dapat menanamkan kasih sayang dan lemah lembut kepada fakir miskin serta mengajarkan sifat tolong menolong dan sensitivitas kepada orang-orang yang membutuhkan pertolongan.

4. Kewajiban Puasa Ramadhan Ditetapkan Melalui Ru’yah
Hal ini didasarkan pada hadis yang diriwayatkan dari Ibnu Umar dimana Rasulullah bersabda : Janganlah berpuasa sehingga kalian melihat hilal, janganlah berbuka sehingga kalian melihat hilal ( pada bulan Syawal) dan janganlah berbuka sehingga kalian melihatnya. Jika kalian terhalangi oleh mendung, maka perkirakanlah hitungan pada bulan itu( HR.Muslim).

5. Hari - hari Disunatkannya Puasa
a. Hari Arafah yaitu tanggal 9 dan 10 Zulhijjah
Puasa pada hari Arafah dapat menghapuskan dosa selama 2 tahun, 1 tahun yang lalu dan 1 tahun yang akan datang (HR.Muslim).kecuali orang –orang yang sedang berada diarafah disunahkan bagi mereka berbuka atau tidak puasa , ini menurut mayoritas para ulama.
b. Pada hari Asyura’ yaitu bulan Muharram
Puasa pada bulan Muharram dapat menghapuskan dosa selama satu tahun sebelumnya .sesuai sabda Rasul: Aku memohon kepada Allah untuk menghapuskan dosa yang pernah aku perbuat pada satu tahun sebelumnya (HR.Muslim).
Ibnu Abbas menceritakan: Rasulullah memerintahkan puasa pada hari Asyura yaitu tanggal 10 Muharram(HR. Tirmizi).
c. Enam hari bulan Syawal
Sabda Rasul : Barang siapa berpuasa pada bulan Ramadhan, lalu dilanjutkan dengan puasa 6 hari pada bulan Syawal, maka nilainya seperti berpuasa sepanjang tahun (HR. Muslim, Abu Dawud, Tarmizi). Boleh dikerjakan berturut-turut, boleh berselang.
d. Limabelas hari pertama pada bulan Sya’ban
Dari Aisyah Ra, ia menceritakan: Aku tidak melihat Nabi saw meyempurnakan puasa satu bulan penuh, selain pada bulan Ramadhan. Dan aku tidak melihat beliau pada bulan-bulan yang lain berpuasa lebih banyak dari bulan Sya’ban (Muttafaqun Alaih).
e. Sepuluh hari pertama bulan Zulhijjah
Sesuai sabda Rasul : Tidak ada hari dimana amal shalih didalamnya lebih dicintai oleh Allah dari pada 10 hari pertama Zulhijjah, para sahabat bertanya kepada Rasul, wahai Rasul, tidak juga jihad fisabilillah ? Beliau menjawab, Tidak juga jihad fisabilillah, kecuali seseorang yang berangkat dengan membawa jiwa dan hartanya, lalu kembali tanpa membawa sedikitpun dari keduannya (HR.Bukhari).
f. Berselang
Sesuai sabda Rasul: Berpuasalah satu hari dan berbukalah satu hari berikutnya. Yang demikian itu merupakan puasa nabi Dawud dan merupakan puasa yang baik. Kemudian aku berkata : Sesungguhnya aku mampu melakukan lebih dari itu,maka Nabi menjawab, tidak ada yang lebih baik dari itu ( Muttafaqun Alaih).
g. Senin Kamis
berdasarkan hadis yang diriwayatkan dari Usamah bin Zaid, dimana Rasulullah senantiasa berpuasa pada hari senin dan kamis karena amal perbuatan manusia diangkat menuju Allah pada hari senin dan kamis ( HR. Abu Dawud).
h. Pertengahan bulan Qamariyah (tanggal 13,14,15, setiap bulan Hijriah)
Dari Abu Hurairah : Rasulullah berpesan kepadaku tiga hal, yaitu berpuasa 3 hari pada setiap bulannya, mengerjakan 2 raka’at salat duha serta salat witir sebelum tidur ( Muttafaqun Alaih).
Dari Abdullah bin Amr bin Al-Ash, Rasul bersabda : Berpuasalah setiap bulannya 3 hari , karena sesungguhnya kebaikan pada hari itu dihitung dengan 10 kelipatanya (HR.Muttafaqun Alaih).

6. Waktu Waktu Dimakruhkannya Berpuasa
a. Berpuasa 1 bulan penuh pada bulan Rajab, kalaupun ada yang hendak berpuasa pada bulan itu hendaklah berselang, karena bulan Rajab adalah bulan yang diagungkan oleh orang Jahiliyah.
b. Pada hari Jum’at saja, sesuai sabda Rasul: Sesungguhnya hari Jum’at itu merupakan hari raya bagi kalian, karena itu janganlah berpuasa, kecuali berpuasa juga sebelum dan sesudahnya (HR. Al-Bazzar).
c. Pada hari sabtu saja, juga makruh puasanya, kecuali diikuti sebelum dan sesudahnya. Sesuai sabd aRasul: Janganlah kalian berpuasa pada hari sabtu, kecuali yang diwajibkan atas kalian (HR. Tirmizi).
d. Makruh puasa pada hari yang diragukan, yaitu hari ke30 bulan Sya’ban,sesuai sabda Rasul: Barangsiapa berpuasa pada hari yang diragukan, maka ia telah menentang Nabi Muhammad ( HR.Bukhari).
e. Mengkhususkan puasa pada tahun baru dan hari besar orang kafir adalah makruh, karena merupakan hari yang sangat diagungkan oleh orang kafir.
f. Puasa wishal, yaitu puasa selama 2 atau 3 hari tanpa berbuka hukumnya makruh, sabda Rasul: Rasulullah pernah puasa wishal pada bulan Ramadan, lalu diikuti oleh para sahabat, setelah itu beliau melarang, dan para sahabat bertanya, bukankah engkau melakukannya ? dan Beliau menjawab, sesungguhnya aku tidak seperti kalian, aku ini makan dan juga minum (Muttafaqun Alaih).
g. Puasa dahr, yaitu puasa yang dilakukan 1 tahun penuh.
Sabda Rasul : Tidak dianggap berpuasa bagi orang yang berpuasa selamanya. (HR. Muslim).
h. Janganlah seorang istri berpuasa, ketika suami berada disisinya, melainkan dengan izin suami, kecuali puasa bulan Ramadan (Muttafaqun Alaih).
i. Puasa 2 hari terakhir bulan sa’ban makruh, sesuai sabda Rasul: Janganlah salah seorang diantara kalian mendahului Ramadan dengan puasa 1 atau 2 hari , kecuali bagi orang yang terbiasa melakukan puasa, maka boleh baginya berpuasa ( Muttafaqun Alaih). Kecuali membayar hutang puasa, karena khawatir tidak bisa melakukannya dilain waktu.

7. Waktu –waktu yang diharamkan Puasa
a. Pada hari Idul Fitri dan Idul Adha baik itu untuk mengqada, membayar kafarat atau puasa sunat.
b. Pada hari Tasyriq yaitu 11,12, 13 Zulhijjah, sesuai sabda rasul: Hari tasyriq adalah hari untuk makan dan minum dan berzikir kepada Allah ( HR.Muslim).
c. Dibolehkan berbuka bagi wanita yang sakit.
Sesuai firman Allah Albaqarah 184 : Barang siapa diantara kalian ada yang sakit atau dalam perjalanan, lalu berbuka, maka wajiblah baginya mengganti puasa sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari yang lain.
d. Berbukanya seorang wanita yang berpuasa sunat, hal ini sesuai hadis dari Abu Said al Khudri : Aku pernah membuatkan makanan untuk Rasulullah ketika beliau datang bersama para sahabatnya kerumah. Pada saat makanan
dihidangkan, seorang sahabat berkata , aku sedang puasa , lalu Rasulullah berkata, saudara kalian ini sudah mengundang dan akan menjamu kalian, karenanya batalkan saja puasamu dan puasalah pada hari lain untuk menggantinya jika engkau mau ( HR. Baihaqi)

8. Sunnat-Sunnat Puasa
a. Menyegerakan berbuka, sesuai hadis ; Manusia senantiasa dalam kebaikan selama mereka menyegerakan berbuka puasa (Muttafaqun Alaih).Disunatkan untuk berbuka dengan kurma, karena kurma dapat mempertajam pandangan, jika tidak ada boleh dengan air.
b. Sahur, sesuai hadis Rasulullah, makan sahurlah, karena sesungguhnya makan sahur itu mengandung berkah ( muttafaqun Alaih). Makan sahur hendaklah diakhirkan sampai mendekati fajar (subuh) hal ini dapat meringankan dalam berpuasa.
c. Berdoa ketika berbuka, karena orang yang berpuasa sehingga berbuka doanya tidak akan ditolak, sesuai sabda Rasul: Ada 3 golongan yang doanya tidak ditolak yaitu orang yang berpuasa sehingga berbuka, imam yang adil dan orang yang dizalimi ( HR. Tarmizi).

9. Puasa Bagi Orang Lanjut Usia
Bagi yang sudah lanjut usia dan tidak mampu untuk mengerjakan puasa, maka ia boleh berbuka, tapi harus diganti dengan memberi makan fakir miskin satu hari dengan satu mud dan tidak perlu mengqada puasanya.

10. Diperbolehkan Berbuka Bagi Musafir (orang dalam perjalanan )
Dalam Surat Albaqarah 184 : Barang siapa diantara kalian ada yang sakit atau dalam perjalanan lalu berbuka, maka wajib baginya berpuasa sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari yang lain.
Tapi jika tetap berpuasa diperjalanan, maka dapat tambahan pahala.

11. Puasa Bagi Wanita Hamil dan Menyusui
Sebagian ulama mengatakan, wanita hamil dan menyusui boleh berbuka, tapi harus menggantinya pada hari yang lain atau memberikan makan pada orang miskin (fidyah). Sesuai sabda Rasul : Sesungguhnya Allah telah memaafkan setengah nilai salat dari para musafir serta memberikan kemurahan bagi wanita hamil dan menyusui, Demi Allah, Rasulullah telah mengatakan keduanya, salah satu atau keduanya (HR. An-Nasai & Tarmizi).

12. Yang Membatalkan Puasa dan Yang Mewajibkan Kafarat
a. Orang yang sengaja makan dan minum siang hari, puasanya jadi batal dan harus mangqada serta harus bayar kafarat (denda ), kecuali dalam keadaan lupa.
b. Muntah dengan sengaja, sesuai hadis Rasulullah : Barang siapa terpaksa muntah, maka tidak ada kewajiban baginya mengganti puasa, tapi barang siapa yang memaksakan diri untuk muntah, maka hendaklah dia mengqada puasanya ( HR. Ahmad, Abu Dawud, Tirmizi, Ibnu Majah, Ibnu Hibban, Daruquthni dan Al-Hakim).
c. Mamandang orang laki-laki dengan nafsu birahi atau mengingat-ingat hubungan badan, puasanya batal dan harus mengqadanya.
d. Haid dan nifas , puasanya jadi batal. Sedangkan keluarnya istihadah tidak membatalkan puasa.
e. Jika seorang suami menyetubuhi istri tidak dengan persangkaan bahwa waktu magrib telah masuk atau mengira fajar belum tiba, maka keduanya tidak diwajibkan bayar kafarat, menurut mayoritas ulama mereka harus mengqadanya.
f. Jika wanita muslimah berniat untuk berbuka, sedang ia dalam keadaan berpuasa, maka puasanya jadi batal, karena niat adalah salah satu sarat sahnya puasa.

13. Hal hal Yang Boleh Dilakukan oleh Wanita Yang Puasa
a. Membasahi seluruh badan dengan air atau mandi.
b. Meneteskan obat mata dan memakai celak.
c. Mencium dan mendapat ciuman dari suami selama ciuman itu tidak menggerakan nafsu sahwat.
d. Suntik, baik pada kulit maupun urat.
e. Berkumur dan memasukkan air kehidung, keduanya tidak membatalkan puasa, tapi dimakruhkan melakukannya dengan berlebihan.
f. Diperbolehkan mencicipi makanan melalui ujung lidah, tapi haru hati-hati jangan sampai masuk kerongga mulut.

14. Jika Tidak Berniat Malam Hari Sebelum Puasa
Diperbolehkan berpuasa, meskipun tidak diniati sejak malam harinya, ketika waktu pagi tiba ( fajar ) ia boleh puasa dan jika berkehendak boleh berbuka.

15. Waktu Yang Meninggal dan Memiliki Hutang Puasa
Bila seseorang yang telah meninggal dan masih mempunyai hutang puasa, boleh digantikan oleh walinya, sesuai hadis Rasul : Barang siapa yang meninggal dunia dalam keadaan meninggalkan kewajiban qadha puasa, maka hendaklah walinya berpuasa untuk menggantikannya ( HR. Bukhari )
16. Kafarat
Orang yang berbuka siang hari pada bulan Ramadan, maka hanya berkewajiban mengqadhanya saja. Sedangkan bila seseorang yang membatalkan puasa karena berhubungan badan disiang hari pada bulan Ramadan, maka harus membebaskan budak yang beriman, atau berpuasa selama 2 bulan berturut-turut, atau memberikan makan 60 orang miskin, setiap orangnya mendapat 1 mud gandum atau kurma ( makanan poko yang mengenyangkan) sesuai dengan kemampuan.

17. Malam Lailatul Qadar
a. Keutamaan lailatul qadar
Amal perbuatan pada malam ini lebih baik daripada amalan seribu bulan yang dikerjakan tidak pada malam lailatul qadar. Dalam surat AlQadar 1-3 :
Sesungguhnya Kami telah menurunkan AlQuran pada malam kemuliaan, Tahukan kamu apa malam kemuliaan itu ? Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan.
b. Waktu malam lailatul qadar
yaitu pada sepuluh malam terakhir dari bulan Ramadan, tepatnya pada malam-malam ganjil dari bulan-bulan tersebut, seperti bulan 21, 23, 25, 27, 29. Diriwayatkan juga bahwa malam lailatul qadar adalah bulan yang sangat terangdan penuh cahaya, malam yang tenang dan tidak memancarkan panas yang menyengatdan tidak juga dingin menggigil dimana Allah SWT telah menyingkapkan bagi sebagian orang didalam tidurnya.
c. Bangun dan berdoa pada malam lailatul qadar.
Disunatkan untuk bersungguh-sungguh dalam berdoa pada malam lailatul qadar ini. Sesuai Sabda Rasulullah : Barang siapa bangun pada malam lailatul qadar karena dorongan iman dan mengharapkan pahala, maka diberikan ampunan baginya atas dosa-dosanya yang telah lalu.

Ringkasan dari fiqih wanita edisi lengkap karangan Syaikh Kamil Muhammad Uwaidah

IKTIKAF


Jenis-jenis iktikaf

Iktikaf yang disyariatkan ada dua bentuk; pertama sunat, dan kedua wajib.
Iktikaf sunnat iaitu yang dilakukan secara sukarela semata-mata untuk bertaqorrub kepada Allah SWT seperti; iktikaf 10 hari terakhir bulan Ramadan.
Dan iktikaf yang wajib iaitu yang didahului dengan nazar (janji), seperti: "Kalau Allah SWT menyembuhkan penyakitku ini, maka aku akan beriktikaf.

Waktu iktikaf

Iktikaf wajib tergantung pada berapa lama waktu yang dinazarkan, sedangkan iktikaf sunat tidak ada batasan waktu tertentu, bila-bila saja pada malam atau siang hari, waktunya boleh lama atau singkat.
Ya'la bin Umayyah berkata: " Sesungguhnya aku berdiam satu jam di masjid tak lain hanya untuk beriktikaf."

Syarat-syarat iktikaf

Orang yang iktikaf harus memenuhi kriteria-kriteria sebagai berikut:
  1. Muslim
  2. Berakal
  3. Suci dari janabah (junub), haid dan nifas.
Oleh kerana itu, iktikaf tidak sah bagi orang kafir, anak yang belum mumaiyiz (mampu membezakan), orang junub, wanita haid dan nifas.

Rukun-rukun iktikaf

  1. Niat (QS. Al Bayyinah : 5), (HR: Bukhari & Muslim tentang niat)
  2. Berdiam di masjid (QS. Al Baqarah : 187)
Di sini ada dua pendapat ulama tentang masjid tempat iktikaf. Sebahagian ulama membolehkan iktikaf di setiap masjid yang diguna untuk solat berjemaah lima waktu.
Hal itu dalam rangka menghindari seringnya keluar masjid dan untuk menjaga pelaksanaan solat jemaah setiap waktu.
Ulama lain mensyaratkan agar iktikaf itu dilaksanakan di masjid yang diguna untuk membuat solat Jumaat, sehingga orang yang beriktikaf tidak perlu meninggalkan tempat iktikafnya menuju masjid lain untuk solat Jumaat.
Pendapat ini dikuatkan oleh para ulama Syafiiyah bahawa yang afdal iaitu iktikaf di masjid jami', kerana Rasulullah s.a.w iktikaf di masjid jami'. Lebih afdal di tiga masjid; Masjid al-Haram, Masjid Nabawi dan Masjid Aqsa.

Hal-hal yang diperbolehkan bagi mutakif (orang yang beriktikaf)

  1. Keluar dari tempat iktikaf untuk menghantar isteri, sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah s.a.w terhadap isterinya Sofiyah ra. (HR. Riwayat Bukhari dan Muslim)
  2. Menyisir atau mencukur rambut, memotong kuku, membersihkan tubuh dari kotoran dan bau badan.
  3. Keluar dari tempat keperluan yang harus dipenuhi, seperti membuang air besar dan kecil, makan, minum (jika tidak ada yang menghantarkannya), dan segala sesuatu yang tidak mungkin dilakukan di masjid, tetapi ia harus segera kembali setelah menyelesaikan keperluannya .
  4. Makan, minum, dan tidur di masjid dengan sentiasa menjaga kesucian dan kebersihan masjid.

Hal-hal yang membatalkan iktikaf

  1. Meninggalkan masjid dengan sengaja tanpa keperluan walaupun sebentar, kerana meninggalkan salah satu rukun iktikaf iaitu berdiam di masjid.
  2. Murtad ( keluar dari agama Islam )
  3. Hilangnya akal, kerana gila atau mabuk
  4. Haid atau Nifas
  5. Berjimak (bersetubuh dengan isteri) (QS. 2: 187), akan tetapi memegang tanpa syahwat, tidak apa-apa sebagaimana yang dilakukan Nabi dengan isteri- isterinya.
  6. Pergi solat Jumaat (bagi mereka yang membolehkan iktikaf di surau yang tidak digunapakai untuk solat Jumaat).

Panduan iktikaf di bulan Ramadan

Di antara rangkaian ibadah dalam bulan suci Ramadan yang sangat dipelihara sekaligus diperintahkan (dianjurkan ) oleh Rasulullah s.a.w adalah iktikaf. Setiap muslim dianjurkan (disunatkan) untuk beriktikaf di masjid, terutama pada 10 hari terakhir bulan Ramadan.

Iktikaf merupakan pendekatan ibadat yang sangat efektif bagi muslim dalam memelihara keislamannya khususnya dalam era globalisasi, materialisasi dan informasi masa kini.

Definisi Iktikaf

Para ulama mendefinisikan iktikaf iaitu berdiam atau tinggal di masjid dengan adab-adab tertentu, pada masa tertentu dengan niat ibadah dan untuk mendekatkan kepada Allah SWT.

Ibnu Hazm berkata: Iktikaf adalah berdiam di dalam masjid dengan niat mendekatkan diri (taqorrub) kepada Allah SWT pada waktu tertentu pada siang atau malam hari. (al MuhallaV/179)

Hukum Iktikaf

Para ulama telah berijmak bahawa iktikaf khususnya 10 hari terakhir bulan Ramadan merupakan suatu ibadah yang disyariat dan disunatkan oleh Rasulullah s.a.w.

Rasulullah s.a.w sendiri sentiasa beriktikaf pada bulan Ramadan selama 10 hari.

Aisyah, Ibnu Umar dan Anas r.a meriwayatkan: "Adalah Rasulullah s.a.w beriktikaf pada 10 hari terakhir bulan Ramadan" (HR. Bukhri & Muslim).

Hal ini dilakukan oleh baginda hingga wafat, kecuali pada tahun wafatnya, baginda beriktikaf selama 20 hari.

Demikian halnya para sahabat dan isteri baginda sentiasa melaksanakan ibadah yang amat agung ini. Sehubungan itu, Imam Ahmad berkata: " Sepengetahuan saya tak seorang pun ulama mengatakan iktikaf bukan sunat."

Fadhilat (keutamaan) iktikaf

Abu Daud pernah bertanya kepada Imam Ahmad: Tahukah anda hadis yang menunjukkan keutamaan iktikaf?

Imam Ahmad menjawab : Tidak, kecuali ia hadis lemah (daif).

Namun demikian tidaklah mengurangi nilai ibadah iktikaf itu sendiri sebagai taqorrub kepada Allah SWT. Dan cukuplah keuatamaannya bahawa Rasulullah s.a.w, para sahabat, para isteri Rasulullah s.a.w dan para ulama salafus soleh sentiasa melakukan ibadah ini.

Jenis-jenis iktikaf

Iktikaf yang disyariatkan ada dua bentuk; pertama sunat, dan kedua wajib.

Iktikaf sunnat iaitu yang dilakukan secara sukarela semata-mata untuk bertaqorrub kepada Allah SWT seperti; iktikaf 10 hari terakhir bulan Ramadan.

Dan iktikaf yang wajib iaitu yang didahului dengan nazar (janji), seperti: "Kalau Allah SWT menyembuhkan penyakitku ini, maka aku akan beriktikaf.

Waktu iktikaf

Iktikaf wajib tergantung pada berapa lama waktu yang dinazarkan, sedangkan iktikaf sunat tidak ada batasan waktu tertentu, bila-bila saja pada malam atau siang hari, waktunya boleh lama atau singkat.

Ya'la bin Umayyah berkata: " Sesungguhnya aku berdiam satu jam di masjid tak lain hanya untuk beriktikaf."

Syarat-syarat iktikaf

Orang yang iktikaf harus memenuhi kriteria-kriteria sebagai berikut:

1. Muslim
2. Berakal
3. Suci dari janabah (junub), haid dan nifas.

Oleh kerana itu, iktikaf tidak diperbolehkan bagi orang kafir, anak yang belum mumaiyiz (mampu membezakan), orang junub, wanita haid dan nifas.

Rukun-rukun iktikaf

1. Niat (QS. Al Bayyinah : 5), (HR: Bukhari & Muslim tentang niat)
2. Berdiam di masjid (QS. Al Baqarah : 187)

Di sini ada dua pendapat ulama tentang masjid tempat iktikaf. Sebahagian ulama membolehkan iktikaf di setiap masjid yang diguna untuk solat berjemaah lima waktu.

Hal itu dalam rangka menghindari seringnya keluar masjid dan untuk menjaga pelaksanaan solat jemaah setiap waktu.

Ulama lain mensyaratkan agar iktikaf itu dilaksanakan di masjid yang diguna untuk membuat solat Jumaat, sehingga orang yang beriktikaf tidak perlu meninggalkan tempat iktikafnya menuju masjid lain untuk solat Jumaat.

Pendapat ini dikuatkan oleh para ulama Syafiiyah bahawa yang afdal iaitu iktikaf di masjid jami', kerana Rasulullah s.a.w iktikaf di masjid jami'. Lebih afdal di tiga masjid; Masjid al-Haram, Masjid Nabawi dan Masjid Aqsa.

Awal dan akhir iktikaf

Khusus iktikaf Ramadan waktunya dimulai sebelum terbenam matahari malam ke-21. Sebagaimana sabda Rasulullah s.a.w : " Barang siapa yang ingin beriktikaf denganku, hendaklah ia beriktikaf pada 10 hari terakhir Ramadan (HR. Bukhari). 10 (sepuluh) di sini adalah jumlah malam, sedangkan malam pertama dari sepuluh itu adalah malam ke-21 atau 20.

Adapun waktu keluarnya atau berakhirnya, kalau iktikaf dilakukan 10 malam terakhir, iaitu setelah terbenam matahari, hari terakhir bulan Ramadan.

Akan tetapi beberapa kalangan ulama mengatakan yang lebih mustahab (disenangi) adalah menuggu sampai solat hari raya.

Hal-hal yang disunatkan waktu beriktikaf

Disunatkan agar orang yang beriktikaf memperbanyak ibadah untuk bertaqorrub kepada Allah SWT ,seperti solat, membaca al-Quran, tasbih, tahmid, tahlil, takbir, istighfar, selawat ke atas Nabi s.a.w, doa dan sebagainya serta termasuk juga di dalamnya pengajian, ceramah, majlis ta'lim, diskusi ilmiah, mentelaah buku tafsir, hadis, sirah dan sebagainya.

Hal-hal yang diperbolehkan bagi mutakif (orang yang beriktikaf)

1. Keluar dari tempat iktikaf untuk menghantar isteri, sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah s.a.w terhadap isterinya Sofiyah ra. (HR. Riwayat Bukhari dan Muslim)
2. Menyisir atau mencukur rambut, memotong kuku, membersihkan tubuh dari kotoran dan bau badan.
3. Keluar dari tempat keperluan yang harus dipenuhi, seperti membuang air besar dan kecil, makan, minum (jika tidak ada yang menghantarkannya), dan segala sesuatu yang tidak mungkin dilakukan di masjid, tetapi ia harus segera kembali setelah menyelesaikan keperluannya .
4. Makan, minum, dan tidur di masjid dengan sentiasa menjaga kesucian dan kebersihan masjid.

Hal-hal yang membatalkan iktikaf

1. Meninggalkan masjid dengan sengaja tanpa keperluan walaupun sebentar, kerana meninggalkan salah satu rukun iktikaf iaitu berdiam di masjid.
2. Murtad ( keluar dari agama Islam )
3. Hilangnya akal, kerana gila atau mabuk
4. Haid atau Nifas
5. Berjimak (bersetubuh dengan isteri) (QS. 2: 187), akan tetapi memegang tanpa syahwat, tidak apa-apa sebagaimana yang dilakukan Nabi dengan isteri- isterinya.
6. Pergi solat Jumaat (bagi mereka yang membolehkan iktikaf di surau yang tidak digunapakai untuk solat Jumaat).



Iktikaf dekatkan diri pada Allah

Hari ini adalah hari ke-21 umat Islam di Malaysia berpuasa Ramadan. Ini bermakna, kita telah memasuki fasa ketiga Ramadan iaitu berada pada 10 malam terakhir yang terkandung di dalamnya lailatul qadar.
Pada suku terakhir Ramadan, umat Islam digalakkan meningkatkan ibadat sunat. Antara yang paling utama ialah beriktikaf untuk beribadat pada sebelah malamnya.
Abu Hurairah meriwayatkan Rasulullah s.a.w beriktikaf pada setiap bulan Ramadan sebanyak 10 hari. Apabila tiba tahun yang baginda wafat padanya, baginda beriktikaf selama 20 hari. (riwayat Bukhari)
Allah berfirman: Dan pada sebahagian daripada malam, maka sujudlah kepada-Nya dan bertasbihlah kepada-Nya pada bahagian yang panjang di malam hari. (al-Insan: 26)
Wartawan MOHD. RADZI MOHD. ZIN dan jurufoto NAZERI ABU BAKAR menemu bual Imam Besar Masjid Negara, Datuk Syaikh Ismail Muhammad bagi mengupas tentang ibadat sunat ini.
MEGA: Bagaimanakah kita boleh mendapat pahala dalam mengerjakan iktikaf ini?
SYAIKH ISMAIL: Iktikaf adalah amalan baik yang amat disunatkan kepada umat Islam melakukannya. Lebih-lebih lagi pada bulan Ramadan.
Maksud iktikaf di sini ialah mendampingi masjid. Tujuan iktikaf ini ialah untuk membersihkan hati dengan mengingati Allah dan taqarrub (berdamping) dengan Allah Yang Maha Pencipta dengan hati yang ikhlas. Allah amat menyukai hamba-hamba-Nya yang sentiasa berusaha bertaqarrub kepada-Nya.
Ia boleh dilakukan setiap kali kita berada di masjid iaitu semasa menunggu waktu solat Isyak misalnya, kita berniat beriktikaf. Dengan niat begini, kita sudah pun beroleh pahala.
Dalam bulan Ramadan ini kita perlu merebut peluang di mana ibadat sunat yang dilakukan itu diberi ganjaran ibadat fardu. Ibadat fardu pula diberi ganjaran 70 kali ganda.
Apakah amalan yang dianjur kita lakukan semasa iktikaf ini?
SHAIKH ISMAIL: Sudah tentu apabila kita beriktikaf untuk mendekatkan diri kepada Allah, kita akan melakukan sesuatu ibadat.
Iktikaf ini hendaklah dilakukan di masjid atau surau yang didirikan solat Jumaat padanya.
Perkara yang sunat dilakukan ialah berqiamullail iaitu membanyakkan ibadat sunat seperti solat tahajud, hajat, taubat, tasbih, mutlak yang diakhiri dengan solat sunat witir.
Selain itu, membaca al-Quran kerana Rasulullah pernah bersabda, membaca al-Quran adalah ibadat sunat yang paling afdal.
Bersabda Rasulullah s.a.w., “Barang siapa membaca satu huruf kitab Allah, memperoleh satu kebajikan. Saya tidak mengatakan Alif lam mim itu satu huruf, tetapi alif satu huruf, lam satu huruf dan mim satu huruf.” (riwayat al-Tirmizi)
Kita juga boleh bertasbih, bertahmid, beristighfar, berselawat dan berdoa.
Bagi mereka yang berkesempatan, boleh juga menghadiri majlis ilmu, mengulangkaji kitab-kitab agama, sirah nabi dan sebagainya.
Bagaimanapun, kita boleh juga membaca buku-buku akademik contohnya berkaitan sains dan teknologi. Yang penting ia memberi manfaat kepada diri dan masyarakat. Membaca buku-buku begini pun turut diberi ganjaran pahala oleh Allah s.w.t.
Ada yang berpendapat, qiamullail itu wajib disertai dengan solat sunat yang banyak. Benarkah?
SYAIKH ISMAIL: Pandangan begini kurang tepat. Memanglah afdal jika kita boleh mendirikan pelbagai solat sunat semasa qiamullail terutamanya solat tasbih.
Tentang solat tasbih ini, Rasulullah pernah bersabda, “Kalau boleh didirikan setiap malam, kalau tidak boleh, seminggu sekali, kalau tidak boleh sebulan sekali, paling tidak pun setahun sekali”. Allah menjanjikan keampunan dosa yang lalu dan akan datang untuk mereka yang mengerjakan solat ini.
Bagaimanapun, paling minimum qiamullail ialah menunaikan solat witir satu rakaat. Apa yang lebih penting dalam Islam ialah melakukan ibadat itu biar sedikit tetapi istiqamah yakni dibuat berterusan.
Dalam bulan Ramadan ini, menunaikan solat tarawih sudah dikira sebagai qiamullail. Rasulullah s.a.w bersabda: Sesiapa yang bangun (qiamullail) pada bulan Ramadan dengan keimanan dan pengharapan akan diampun dosanya yang terdahulu. (riwayat Bukhari dan Muslim).
Apa yang lebih penting ialah falsafah di sebalik qiamullail. Di dalamnya terkandung sifat ikhlas di mana kita beribadat seorang diri pada waktu orang lain nyenyak tidur di tilam yang empuk.
Maknanya, tidak ada unsur riak dalam kita melakukan ibadat ini.
Apakah kelebihan mengamalkan qiamullail. Adakah ia boleh menampung kekurangan pahala berpuasa?
SYAIKH ISMAIL: Orang yang mengamalkan qiamullail ini akan diangkat darjat mereka.
Ini dijelaskan menerusi firman Allah, Dan pada sebahagian malam hari bersolat tahajudlah kamu sebagai suatu ibadat tambahan bagimu, mudah-mudahan Tuhan mengangkat kamu ke tempat yang terpuji. (al-Isra’: 79)
Selain itu, Nabi s.a.w bersabda, Hendaklah kamu bersolat malam. Sesungguhnya ia amalan yang soleh sebelum kamu, amalan yang mendekatkan kepada Tuhanmu, penghapus kesalahan dan pencegah dosa. (riwayat Muslim)
Bagaimanapun, qiamullail ini adalah ibadat yang berbeza dan tidak boleh menampung kekurangan pahala berpuasa.
Kalau tidak mahu cacat pahala puasa, kita jangan melakukan perkara yang buruk, bercakap yang sia-sia dan menjauhkan maksiat.
Rasulullah yang maksum juga tidak meninggalkan qiamullail ini. Bagaimanakah cara untuk mendidik membiasakan diri menunaikannya?
SYAIKH ISMAIL: Rasulullah pernah ditanya oleh saidatina Aisyah r.a, mengapakah baginda berqiamullail sehingga bengkak kaki baginda kerana berdiri terlalu lama sedangkan baginda adalah maksum, baginda menjawab, apakah tidak aku menjadi hamba yang bersyukur.
Dan dalam bulan Ramadan, Nabi s.a.w bukan sahaja bangun beribadat waktu malam tetapi mengejutkan isteri dan ahli keluarganya untuk sama-sama beribadat kepada Allah.
Aisyah r.a berkata, Rasulullah s.a.w apabila masuk malam 10 terakhir Ramadan, baginda menghidupkan malam (dengan ibadat), mengejutkan keluarganya (bangun beribadat), bersungguh-sungguh (dalam beribadat) dan uzlah dari isteri-isterinya. (riwayat Bukhari dan Muslim)
Untuk membiasakan diri melakukan ibadat ini, hendaklah kita sentiasa menunaikan solat. Cuba istiqamah melakukannya selama 40 waktu atau 40 hari. Sebabnya, ulama menyebut, jika kita solat subuh selama 40 waktu berturut-turut tanpa tinggal, insya-Allah kita akan kekal menunaikannya.
Kita juga perlu sabar dalam melaksanakan ibadat. Ini amat penting terutama pada kali pertama kita melakukan qiamullail. Apabila dah biasa tidak ada masalah lagi.
Analoginya, kalau kita hendak upah atau gaji yang lebih sudah tentu kena kerja keras atau lebih masa. Demikian juga untuk mendapat ganjaran pahala besar yang dijanjikan oleh Allah kita kena berusaha melakukan qiamullail. Kita kenalah berkorban sedikit seperti mengurangkan waktu tidur.
Selain, qiamullail apakah zikir-zikir yang mudah dibaca tetapi berat timbangannya yang boleh diamalkan oleh umat Islam?
SYAIKH ISMAIL: Paling utama ialah membaca al-Quran seperti yang disebutkan tadi. Lain-lain ialah zikir seperti La ila ha illallah, subhanallah, alhamdulillah, allahu akbar.
Kita juga hendaklah membanyakkan istighfar memohon keampunan Allah.
Apa pula peluang yang perlu direbut terutama pada lailatul qadar?
SHAIKH ISMAIL: Hendaklah kita berusaha mencari lailatul qadar kerana pahala beribadat pada malam ini adalah menyamai 1,000 bulan atau 84 tahun. (al-Qadr: 3)
Ini adalah bonus yang Allah bagi kepada umat Nabi Muhammad yang rata-rata umur mereka ialah sekitar 60 ke 70 tahun berbanding umat terdahulu yang usia mereka mencecah beribu tahun.
Malam ini pula dikatakan berlaku pada malam ganjil 10 terakhir Ramadan. Ini berdasarkan hadis Rasulullah s.a.w: Carilah lailatul qadar pada malam ganjil 10 malam terakhir. (riwayat Bukhari)
Oleh itu, janganlah kita sia-siakan peluang yang Allah berikan kepada kita tahun ini kerana belum tentu kita akan bertemu Ramadan tahun depan.

IKTIKAF WANITA
Ramai yang bertanya tentang adakah boleh wanita beriktikaf di rumahnya untuk sepuluh malam terakhir ramadhan ini? adakah ia boleh mendapat pahala seperti iktikaf lelaki di masjid?
Jawapannya:
Imam Abu Hanifah & Imam Sufyan At-Thawry mengatakan wanita boleh dan sah beriktikaf di rumahnya dan mereka mendapat pahala sebagimana lelaki di masjid. bgmnpun perlu dingat, mereka perlulah menjaga tertoib dan adab iktikaf jika ingin perbuat di rumahnya.
Walau bagaimanapun, Imam As-Syafie dalam ijtihadnya, berpandangan wanita tidak boleh beriktikaf di di rumahnya. Kerana ayat al-Quran umum menyebut " dan kamu semua beriktikaf di masjid-masjid" ( al-Baqarah : 187 )
Demikian juga pandangan mazhab Hanbali dan Imam Malik. ( iaitu tiada iktikaf kecuali di masjid yang didirikan kahs untuk solat kepada Allah) . Imam Ibn Quddamah di dalam kitab al-muhghni menyebut, antara dalilnya juga adalah Nabi SAW ketika di minta oleh isteri-isterinya untuk beriktikaf di masjid, maka Nabi SAW mengizinkannya , maka jika rumahnya yang dijadikan wanita sbg tempat solatnya boleh di jadikan tempat iktikaf, maka mengapakah Nabi SAW mengizinkan mereka ke masjid, bukankah terus sahaj Nabi mengizinkan mereka beriktikaf di rumah. Malah jika, iktikaf di rumah lebih elok, sudah tentu nabi akan memaklumkannya kepada para wanita.
Selain itu, ini kerana iktikaf itu adalah ibadat qurbah (yg hampirkan diri dgn Allah), seperti Tawaf, yang memerlukan lelaki dan wanita ke kaabah untuk tujuan tawaf. Demikian juga Iktikaf. ( Al-Mughni, 4/262)
Maka pandagan yang lebih kuat adalah di masjid, manakala pandangan abu hanifah dan thawry boeh diamalkan di ketika sukar ke masjid dan tidak diganggu oleh anak-anak di rumah yang menyebabkan boleh terganggu tujuan iktikaf itu. Selain itu, syarat-syarat iktikaf juga sukar di tepati jika dibuat di rumah dalam banyak keadaan.
Dan apabila wanita beriktikaf di masjid, adalah perlu untuknya menggunakan tirai
yang lebih sebagai mengikuti cara isteri-isteri Nabi SAW dan menutup aurat mereka dengan lebih berkesan.
Iktikaf di Surau
Disepakti oleh para Ulama bahawa tempat yang paling elok beriktikaf di 3 masjid utama Islam ( masjidil Haram, Masjid Nabawi dan Masjid Al-Aqsa, di tangga seterusnya dari sudut keutamaan adalah mana-mana masjid yang didirikan solat jumaat. Imam Ibn Quddamah menyebut, ini adalah kerana berjemaah di dalamnya juga adalah lebih pahalanya. Demikian juga menurut Imam As-Syafie. Manakala berikutnya adalah semua masjid walaupun tidak didirikan Jumaat.
Bagaimanapun, kebanyakan ulama hanya mengiktiraf masjid yang didirikan solat jumaat sahaja untuk dijadikan tempat beriktikaf. Demikian juga yang disebut oleh Prof Dr. Syeikh Husam, prof Shariah dari Palestin. Wallahu 'alam.
Sekian,
ust zaharuddin abd rahman


IKTIKAF

Muslimin yang dirahmati Allah,
Marilah kita bertakwa kepada Allah Subhanahu Wataala dengan sebenar-benar takwa, dengan mengerjakan segala apa jua suruhannya dan meninggalkan segala apa jua larangannya. Dengan cara ini kita akan mencapai ketenangan, keselamatan, kebahagian di dunia dan di akhirat.
Muslimin yang berbahagia,
Setiap orang yang hidup di dunia ini mahukan ketenangan dan kesenangan. Tiada siapa pun yang mahukan hidupnya rungsing, gelisah dan menghadapi berbagai-bagai masalah. Dalam menghadapi masalah ini, umat Islam sangat beruntung dan bertuah kerana Islam sentiasa membimbing dan menunjukkan umatnya jalan selamat yang boleh menyelesaikan masalah yang dihadapi, tetapi terpulanglah kepada kita samada mahu mengikut atau sebaliknya.
Islam menyediakan banyak jalan bagi umatnya untuk mencari ketenangan jiwa yakni mengurangkan perasaan yang tidak senang yang bersarang di hati atau di jiwa individu.
Ketenangan hati bagi seseorang insan adalah anugerah Tuhan yang tidak ternilai harganya, yang sepatutnya tidak diabaikan bahkan hendaklah dijaga dan dipelihara, kerana itu pohonlah kepada Allah Subhanahu Wataala supaya dikurniakan hati yang tenang, jauh dari ketegangan.
Banyakkanlah berzikir kepada Allah Subhanahu Wataala, memuji, memohon keampunan dan keredhaannya. Itulah cara mendapatkan ketenangan. Jangan mencari ketenangan dengan perkara yang dilarang dan diharamkan oleh Allah Subhanahu Wataala seperti memakan dadah, meminum arak dan bermacam-macam lagi kemungkaran yang ditegah dan dilarang, kerana semua itu bukan jalan penyelesaian masalah tetapi sebaliknya akan mendatangkan masalah dan padah terhadap diri sendiri, keluarga dan masyarakat bahkan negara.
Salah satu cara dan penawar bagi mengubati jiwa dan hati ialah dengan banyak-banyak mengingat Allah Subhanahu Wataala sebagaimana firman Allah Subhanahu Wataala di dalam surah Ar-Ra’d ayat 28 :
Tafsirnya :
Iaitu orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingati Allah. Ingatlah! Hanya dengan mengingati Allah lah hati menjadi tenteram.
Cara yang mudah dan ringan untuk memperolehi ketenangan ialah dengan jalan beriktikaf.
Kaum muslimin yang dirahmati Allah,
Iktikaf bererti : Diam (berhenti) dalam masjid dengan niat dan cara yang tertentu, khususnya beribadat terutama pada sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan. Manakala jika seseorang itu duduk sahaja di dalam masjid, tanpa berniat iktikaf, maka perbuatan tersebut tidaklah dikira iktikaf.
Apabila seseorang itu beriktikaf dengan tulus ikhlas kerana Allah Subhanahu Wataala dengan niat bagi mendapatkan ketenangan, Insya Allah, Allah Subhanahu Wataala akan mengurniakan ketenangan jiwa untuk menghadapi hidup ini.
Oleh itu, sebelum melangkahkan kaki ke masjid untuk beriktikaf, maka kita hendaklah mempersiapkan diri kita secara zahir dan batin dengan menumpukan perhatian sepenuhnya kepada Allah Subhanahu Wataala.
Perlulah diketahui bahawa amalan-amalan yang sangat baik untuk dilakukan semasa beriktikaf ialah sembahyang, berzikir, bertahlil iaitu mengucap ‘La ilaha illallah’, bertahmid iaitu mengucap Al-hamdulillah, bertasbih iaitu mengucap Subhanallah, berdoa, membaca Al-Quran, belajar, mengajar dan sebagainya. Itulah di antara cara bagi melatih jiwa dan fikiran untuk mengingati Allah Subhanahau Wataala.
Sidang Jumaat yang berbahagia,
Beriktikaf adalah merupakan amalan Rasulullah Sallallahu Alaihi Wasallam khususnya di waktu bulan ramadhan, kerana beribadat ketika itu sangat tinggi nilainya dan besar ganjarannya di sisi Allah Subhanahu Wataala, lebih-lebih lagi dilakukan pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. Sebagaimana hadith Rasulullah Sallallahu Alaihi Wasallam:
Maksudnya :
Dari Aishah Radiallahu-Anha ia berkata : Bahawasanya Nabi Sallallahu Alaihi Wasallam beriktikaf pada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan, sehinggalah baginda wafat, kemudian para isteri baginda meneruskan amalan beriktikaf selepas kewafatannya.
Sidang Jumaat sekalian,
Iktikaf itu mempunyai banyak hikmat yang tertentu di antaranya ialah:-
Pertama :
Mendatangkan ketenangan kepada fikiran dan jiwa dari bermacam-macam kesibukan dan boleh merehatkan seluruh anggota badan dari kepenatan dan keletihan.
Kedua :
Dari segi rohani : ia akan mendorong kita supaya memikirkan kelemahan diri dan merenung tanda-tanda kebesaran Allah Subhanahu Wataala kerana dengan jalan demikian akan mendekatkan kita lagi kepada Allah Subhanahu Wataala.
Ketiga :
Iktikaf boleh mendidik diri kearah jiwa Muthma’innah ( jiwa yang tenang ) dan tidak tunduk kepada dorongan hawa nafsu, sebaliknya tunduk dan taat kepada Allah Subhanahu Wataala dengan akal yang sihat.
Keempat :
Iktikaf juga akan meningkatkan iman dan takwa kerana dengan memperbanyakkan ingat kepada Allah Subhanahu Wataala sahajalah kita akan gementar dan terasa kebesaran Allah Subhanahu Wataala.
Wahai kaum muslimin,
Sekarang kita telah berada penghujung di bulan Syaaban dan tidak lama lagi kita akan bertemu bulan Ramadhan iaitu bulan yang diwajibkan kita berpuasa. Apa yang ingin kita ingatkan sebelum menjelangnya bulan Ramadhan akan datang ini ialah apakah kita masih mempunyai qada’ puasa yang lalu yang belum dilaksanakan, jika ada, maka tunaikanlah hutang-hutang puasa itu semasa kita masih sihat dan bertenaga ini, jangan sampai ditangguh-tangguh tahun demi tahun dan akhirnya sehingga ajal menjemput kita.
Firman Allah Subhanahu Wataala dalam surah Al-Baqarah ayat 125 :
Tafsirnya :
Dan kami perintahkan kepada Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail dengan berfirman: Bersihkanlah rumah ku (Kaabah dan Masjidil-haram dari segala perkara yang dilarang) untuk orang-orang yang bertawaf dan orang-orang yang beriktikaf (yang tetap tinggal padanya) dan orang-orang yang ruku’ dan sujud
.





Iktikaf dan persoalannya


Ustaz Zainudin Hashim


Tazkirah Akhir Ramadan : Nabi Muhammad s.a.w merupakan insan sempurna dalam segenap tindak-tanduk, dari sebasar-besar perkara hinggalah kepada sekecil-kecil, ia tetap memberikan panduan serta contoh terbaik, baginda bukan sekadar mengajar umatnya untuk bangkit melakukan pelbagai bentuk amal ibadat, akan tetapi sebelum baginda mencadang atau mengarahkan umatnya untuk berbuat demikian, baginda terlebih dahulu membuktikannya dengan pengamalan dan tindakan positif yang boleh dijadikan contoh terbaik buat semua.
Iklan




Dalam segenap bentul amal ibadat, termasuklah dalam perkara itikaf khususnya di bulan Ramadan, tidak ketinggalan baginda mencontohkannya kepada umatnya cara, bentuk serta pendekatanitikaf yang sebenar, ia bertujuan agar umatnya tidak tersasar jauh malah terarah kepada hala tuju yang betul dan sihat.

Walaupun dosa-dosa terdahulu baginda telah diampunkan Allah SWT, namun sebagai seorang Nabi dan Rasul, tanggungjawabnya untuk memberi atau menyediakan modul terbaik kepada umat menjadi keutamaan, justeru dalam perbincangan kali ini, penulis berhajat untuk menyatakan panduan yang ditunjukkan oleh baginda Rasulullah s.a.w dalam ibadat ‘itikaf khususnya pada malam-malam terakhir Ramadan dalam bentuk yang paling mudah untuk diamalkan oleh setiap individu muslim dan muslimah.

Makna 'Itikaf

Ia bermaksud menetap pada satu tempat (terutamanya masjid) sama ada panjang atau pendek tempoh yang dilakukannya.

Hukum ‘Itikaf

Para ulama’ bersepakat bahawa ‘itikaf hukumnya adalah sunat yang tidak boleh dipaksakan orang lain melakukannya, melainkan ia menjadi hukum nazar yang mesti dilakukan oleh orang yang bernazar.

Tempoh masa untuk ber’itikaf Menurut jumhur (kebanyakan) ulama’ dari kalangan mazhab Imam Abu Hanifah, Imam as-Syafie dan Imam Ahmad bin Hanbal, tempoh masa untuk ber’itikaf yang diterima walaupun hanya sebentar, ada juga pendapat yang menyebut bahawa tempoh satu hari juga diterima sebagai amalan untuk beribadat kepada Allah SWT.

yarat untuk ber’itikaf

‘Itikaf disyaratkan perlakuannya dalam masjid yang dilakukan solat jamaah, apatah lagi masjid yang diadakan solat Jumaat.

Bagaimana dengan ‘itikaf dalam surau

Sesetengah ulama’ tidak mensyaratkan masjid yang diadakan solat Jumaat boleh untuk ber’itikaf, malah masjid atau surau yang didirikan solat jamaah juga adalah sah untuk dilakukan ‘itikaf bagi mereka yang mahu melakukannya. (Ia berdasarkan riwayat Ibnu Abbas dan Aishah yang dipegang oleh Imam Ahmad dan al-Baihaqi).

Selain itu, bagi yang ber’itikaf, mereka tidak digalakkan menziarahi orang sakit, tidak juga mengurus jenazah, tidak dibenarkan bersentuhan dengan isteri atau melakukan persetubuhan atau melakukan sebarang aktiviti yang tiada kena mengena dengan tujuan ber’itikaf. Maksud hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud (hadisnya yang ke 2473) daripada Saidatina Aishah r.a.

Bagi muslimah pula, adalah digalakkan untuk berada di rumah atau surau yang tidak diadakan solat jamaah. (Disebut dalam as-Syarh al-Mumti’)

Hukum ber’itikaf dalam sebuah bilik penjuru masjid

Jika terdapat bilik-bilik yang bersambung dengan ruang masjid dan sebagainya, ia boleh dijadikan sebahagian tempat untuk ber’itikaf lebih-lebih lagi buat muslimat. (Fatawa al-Lajnah ad-Da~imah 411/10).

Tujuan ber’itikaf di bulan Ramadan

v Amalan ber’itikaf boleh dilakukan pada bulan-bulan lain selain Ramadan, namun di bulan Ramadan adalah sangat digalakkan terutama dalam merebut kedatangan Lailatul Qadr yang lebih baik daripada seribu bulan.

Batal hukum ‘itikaf jika keluar dari masjid/surau

Apabila seorang yang sedang ber’itikaf dalam masjid, keluar tanpa sebab-sebab yang dibolehkan seperti mengambil wuduk, buang air, mandi, menguruskan makan untuk berbuka atau bersahur (jika tiada pihak yang menguruskannya), bekerja, maka terbatal tujuan ‘itikafnya pada hari itu. (maksud hadis riwayat Imam Bukhari dan Muslim daripada Aishah).

Antara ‘itikaf dan belajar – mana lebih diutamakan?

Jika terdapat keinginan para pelajar di sebuah universiti yang tinggal di asrama berdekatan dengan masjid, maka belajar itu adalah lebi diutamakan daripada ber’itikaf, kerana belajar adalah wajib sementara ‘itikaf pula hukumnya sunnat. (www.islam-qa.com) bab mengenai ‘itikaf.

Apakah amalan tertentu untuk dilakukan ketika ber’itikaf?

Petunjuk Nabi Muhammad s.a.w dalam urusan ‘itikaf amat mudah, seluruh waktunya dihabiskan dengan berzikir kepada Allah SWT, zikir yang diertikan dengan mengingati Allah boleh dilakukan dalam pelbagai bentuk, ia termasuk membaca dan bertadarus al-Quran (berdiskusi, menyelidiki), bersolat sunat – sila lihat Zadul Ma’ad oleh Ibnu Qaiyim al-Jauziyyah (2/90).

Ahli Jawatankuasa masjid atau surau ketika ber’itikaf yang mengadakan mesyuarat khas bagi merangka dan membincangkan aktiviti bertujuan meningkatkan prestasi iman dan takwa ahli kariah juga boleh dianggap ibadat kerana mengajak manusia untuk mengingati Allah.

Jika seorang yang bekerja yang terpaksa membawa balik bahan tugasan pejabatnya memandangkan ketibaan awal Syawal semakin hampir untuk disiapkan, tidak berkesempatan untuk ber’itikaf atau melakukan solat-solat sunat walaupun di rumah, hasratnya tinggi untuk buat, tetapi dihalangi dengan kesibukan tugasan pejabat yang mesti diserahkan keesokan hari, apabila dia tahu bahawa bekerja itu adalah ibadat, maka apa yang dilakukannya juga kerana ibadat, maka segala tindakannya itu adalah diterima sebagai salah satu tuntutan ibadat, namun dia perlu berusaha untuk cuba melakukannya pada malam-malam terakhir yang masih berbaki.

Remaja perlu minta izin kedua ibu bapa untuk ber’itikaf

Mungkin terdapat segelintir remaja yang baik budi pekertinya yang masih di bawah penjagaan kedua ibu bapa mereka berhasrat untuk ber’itikaf di masjid bagi meningkatkan hubungan dengan Allah SWT, perlu meminta izin daripada mereka berdua, kerana patuh kepada mereka berdua adalah wajib sedangkan ‘itikaf adalah sunnat, ia bertujuan bagi memastikan agar ibadat ‘itikaf yang dilakukannya mengikut peraturan yang telah digariskan oleh hukum Syara’.

Pahala ber’itikaf

Sabda Rasulullah seperti yang difirmankan Allah dalam satu hadis Qudsi yang bermaksud : Apa sahaja yang dilakukan oleh hamba-Ku bertujuan untuk mendekatkan dirinya kepada-Ku dengan amalan-amalan sunnat hingga Aku menyukainya, apabila Aku menyukainya maka Akulah yang akan menjadi pendengaran apa yang didengarnya, menjadi penglihatan apa yang dilihatnya, tangannya bertindak sesuatu apa yang sepatutnya dilakukan, kakinya melangkah pada apa yang sepatutnya dilakukan, jika dia meminta kepada-Ku, pasti akan Aku perkenankan dan jika dia minta perlindungan daripada-Ku pasti Aku akan melindunginya. (Hadis Sohih riwayat Imam Bukhari 6502).

Rasulullah s.a.w ada menegaskan dalam satu hadis yang bermaksud : Sesiapa yang ber’itikaf dengan penuh keimanan dan mengharapkan keredaan Allah SWT, sesungguhnya dosa-dosanya yang telah lalu diampunkan oleh Allah. (Hadis riwayat ad-Dailami daripada Aishah r.a).

Peranan kita pada malam-malam terakhir Ramadan

1- Perlu kita ketahui, bahawa Allah SWT mahu menguji iman kita dengan pelaksanaan ibadat puasa selama sebulan Ramadan, bagi yang benar beriman, akan melakukan ibadat puasa dengan sungguh-sungguh adapun bagi yang berdusta, tidak sanggup untuk melakukannya dengan ikhlas kepada-Nya.

2- Kita berpuasa dengan niat untuk menyahut arahan Allah dan pahala-Nya.

3- Tidak menghabiskan puasa sehari suntuk dengan banyak tidur.

4- Kita perlu memperbaharui taubat kepada Allah.

5- Kita perlu memperbanyakkan doa, istighfar kepada Allah khususnya di bulan Ramadan, kerana ia menjanjikan kepada kita rahmat dan keampunan Allah serta pelepasan daripada api neraka.

6- Ketika berpuasa, kita perlu menahan pancaindera daripada terjebak pada perkara-perkara yang diharamkan Allah. -

Nisfu Syaaban oh Nisfu Syaaban

Nisfu Syaaban dan fatwa tentangnya



Assalaamu’alaikum w.b.t….. Sebagaimana telah kita ketahui apabila tibanya malam 15 Sya’aban, ramai yang akan ke masjid untuk solat jemaah dan membaca yasin sebanyak 3 kali. Tetapi tahukah kita dari mana amalan itu berasal? Sedangkan kita tahu, bahawa sesuatu ibadah khusus yang dilakukan jika tiada amalan atau dalil dari nabi Muhammad S.a.w maka dikira bid’ah. Persoalannya mengapa perlu dilakukan sebanyak 3 kali dan dikhususkan pada malam tersebut? Sedangkan bacaan Yasin boleh dilakukan pada bila-bila masa dan tidak terhad kepada berapa kali.
Seperti yang selalu saya lihat, bacaan Yasin yang dibuat sebanyak 3 kali itu dilakukan dengan pantas dan terkejar-kejar. Mungkin ianya sesuai dengan orang yang sudah mahir membaca Qasar, tetapi bagaimana dengan mereka yang tidak mahir dengan bacaan Qasar lebih-lebih lagi bagi yang tidak mahir membaca AlQuran bertajwid. Tidakkah itu sudah menjadi tunggang-langgang dan tidak berlaku dalam keadaan yang tenang. Apakah bagus membaca AlQuran dalam keadaan tergesa-gesa dan salah tajwidnya? Apakah hikmah di sebalik tergesa-gesa dan tidak faham apa yang dibaca itu?
Sebenarnya tiada hadith yang sahih yang memberitahu tentang bacaan yasin 3 kali pada malam nisfu Syaaban ini dan jika ada pun, ianya adalah hadith berkenaan kelebihan malam nisfu Syaaban yang dhaif dan juga terdapat dalam hadith maudhu’ (palsu). Walau bagaimanapun ada sebahagian ulama berpendapat hadis dhaif boleh dipegang dalam amalan sunat secara perseorangan. Tetapi tidak sekali-kali dengan hadith maudhu’. Ingat, hadith maudhu’ maknanya hadith PALSU, dan hadith PALSU hanyalah hadith yang direka-reka oleh golongan tertentu. Dengan kerana itu, adalah penting agar kita berhati-hati dalam memahami martabat sesuatu hadith itu.
Namun , dalam soal bacaan Yasin sebanyak 3 kali dalam nisfu Syaaban tetap tidak ada hadith yang sahih berkenaannya dan amalan tersebut tiada ditunjukkan contoh langsung oleh nabi dan sahabat. Maka mengapa kita sekarang ini mengadakan majlis tersebut di masjid-masjid apabila tibanya malam nisfu Syaaban sahaja? Mengapa perlu menetapkan malam itu untuk membaca Yasin 3 kali dan berduyun-duyun menuju ke masjid sedangkan malam lain tidak? Itu yang perlu diperhati bersama.
Dan saya tidak berani mengatakan amalan tersebut haram. tetapi kita perlu ingat, amalan ibadah khusus yang bukannya berasal dari nabi sudah dikira bid’ah dan dibimbangi amalan itu akan menjadi penat dan lelah semata-mata kerana tidak berasas atau menambah dosa sahaja. Tetapi menurut fatwa dari Syeikh Abdul Aziz bin Baaz, amalan itu dikira bid’ah dan penjelasannya ada saya sertakan di bawah nanti.
Maka sebaiknya adalah kita lakukan sahaja amalan membaca Yasin atau apa-apa sahaja bacaan AlQuran , tanpa perlu dikhususkan 3 kali dan seumpamanya. Dan yang penting, bacaan itu biarlah TERTIB, TENANG dan memberi keinsafan kepada kita dan bukannya semata-mata mahu mengejar pahala sehingga membaca AlQuran dengan tergopoh dan salah tajwid dan mengatakan sepatutnya melakukan bacaan Yasin 3 kali itu.
Pengertian nisfu Syaaban
Nisfu dalam bahasa arab bererti setengah. Nisfu Syaaban bererti setengah bulan Syaaban. Malam Nisfu Syaaban adalah malam lima-belas Syaaban iaitu siangnya empat-belas haribulan Syaaban.
Malam Nisfu Syaaban merupakan malam yang penuh berkat dan rahmat selepas malam Lailatul qadr. Saiyidatina Aisyah r.a. meriwayatkan bahawa Nabi saw tidak tidur pada malam itu sebagaimana yg tersebut dalam sebuah hadis yg diriwayatkan oleh Imam Al-Baihaqi r.a:
Rasulullah saw telah bangun pada malam (Nisfu Syaaban) dan bersembahyang dan sungguh lama sujudnya sehingga aku fikir beliau telah wafat. Apabila aku melihat demikian aku mencuit ibu jari kaki Baginda saw dan bergerak. Kemudian aku kembali dan aku dengar Baginda saw berkata dlm sujudnya, “Ya Allah aku pohonkan kemaafanMu daripada apa yg akan diturunkan dan aku pohonkan keredhaanMu daripada kemurkaanMu dan aku berlindung kpdMu daripadaMu. Aku tidak dpt menghitung pujian terhadapMu seperti kamu memuji diriMu sendiri.”
Setelah Baginda saw selesai sembahyang, Baginda berkata kpd Saiyidatina Aisyah r.a. “Malam ini adalan malam Nisfu syaaban. Sesungguhnya Allah Azzawajjala telah dtg kpd hambanya pada malam Nisfu syaaban dan memberi keampunan kpd mereka yg beristighfar, memberi rahmat ke atas mereka yg memberi rahmat dan melambatkan rahmat dan keampunan terhadap orang2 yg dengki.”
Hari nisfu sya’aban adalah hari dimana buku catatan amalan kita selama setahun diangkat ke langit dan diganti dengan buku catatan yang baru. Catatan pertama yang akan dicatatkan dibuku yang baru akan bermula sebaik sahaja masuk waktu maghrib, (15 Sya’aban bermula pada 14 hb sya’aban sebaik sahaja masuk maghrib)
Fatwa tentang merayakan malam Nisfu Syaaban
Bacaan yasin
Umat Islam di Malaysia umumnya menyambut malam nisfu Syaaban ( 15hb Syaaban) dengan mengadakan majlis membaca surah Yasin sebanyak tiga kali selepas solat Maghrib. Di celah-celah bacaan Yasin ini diselitkan dengan bacaan doa seperti , selepas bacaan Yasin pertama dengan doa untuk diselamatkan dunia akhirat, selepas bacaan Yasin kedua doa supaya dipanjangkan umur dalam keberkatan dan selepas bacaan Yasin ketiga doa supaya dianugerahkan rezeki yang halal.
Diperhatikan bahawa amalan sambutan Nisfu Syaaban yang kaifiatnya sebegini tidak diamalkan di tempat lain di seluruh dunia. Tidak hairanlah tiada fatwa yang dikeluarkan oleh Ulama muktabar dunia masa kini tentang sahih batilnya amalan ini.
Kita beramal dan beribadat adalah untuk mendapat pahala dan kebaikan . Amalan ini hendaklah ada contohnya dari Rasulullah s.a.w. atau sahabat-sahabat atau ada petunjuk yang jelas dari al-Quran dan as-sunnah . Amalan mengkhususkan bacaan dan doa tertentu pada sesuatu masa tanpa nas yang sahih adalah amalan bidaah yang tertolak dan dikhuatiri berdosa; setidak-tidaknya ia akan membazirkan masa dan memenatkan badan.
Kita boleh membaca surah Yasin sebanyak mungkin pada bila-bila masa untuk mendapat pahala tetapi tidak dengan mengkhususkan kepada malam nisfu Syabaan dan dengan bilangan tiga kali. Kita digalakkan berdoa apa saja kepada Allah s.w.t untuk kebaikan dunia dan di akhirat tetapi tidak perlu dikhususkan di celah-celah bacaan Yasin di malam nisfu Syaaban. Dan kita boleh membaca surah Yasin dan berdoa bersendirian, di mana-mana dan bila-bila saja dan tidak perlu berkampung di masjid-masjid dengan harapan mendapat ganjaran istimewa dari Allah s.w.t.
Berikut adalah fatwa yang dikeluarkan oleh seorang ulama terkemuka di Timur Tengah untuk menjelaskan tentang amalan bidaah di malam nisfu Syaaban. Perhatikan bahawa beliau tidak menyebut amalan membaca Yasin dan doa-doa yang mengiringinya kerana amalan tersebut tidak diamalkan oleh penduduk di Timur Tengah atau di bahagian lain dunia Islam. Boleh dikatakan bahawa amalan baca Yasin dan doa ini adalah sebahagian dari sekian banyak amalan bidaah ciptaan rakyat tempatan khusus untuk amalan penduduk nusantara ini!
‘Solat Sunat’ Nisfu Syaaban
Firman Allah (mafhumnya): “Pada hari ini, Aku telah sempurnakan bagi kamu agama kamu dan Aku telah cukupkan nikmatKu kepada kamu dan Aku telah redakan Islam itu menjadi agama untuk kamu.” [al-Maa’idah 5:3]. “Patutkah mereka mempunyai sekutu-sekutu yang menentukan mana-mana bahagian dari agama mereka sebarang undang-undang yang tidak diizinkan oleh Allah?” [al-Syur.a 42:21]
Dalam kitab al-Sahihain diriwayatkan daripada `Aisyah (r.a) bahawa Rasulullah (s.a.w) pernah bersabda: “barangsiapa mengada-adakan perkara baru dalam urusan (agama) kita ini yang mana bukan sebahagian daripadanya, akan tertolak.”
Dalam Sahih Muslim diriwayatkan daripada Jabir r.a, Nabi (s.a.w) bersabda dalam khutbah Baginda: “Tetaplah kamu dengan Sunnahku dan Sunnah para Khulafa’ Rasyidun, serta berpegang teguhlah padanya… Berwaspadalah terhadap perkara yang baru diada-adakan, kerana setiap perkara baru adalah bid’ah dan setiap perkara bid’ah itu adalah sesat.” Terdapat banyak lagi ayat Qur’an dan hadis yang seumpamanya.
Ini jelas sekali menunjukkan bahawa Allah telah sempurnakan agama umat ini, dan mencukupkan nikmatNya ke atas mereka. Tuhan tidak mengambil nyawa RasulNya sehinggalah Baginda selesai menyampaikan perutusan dengan seterang-terangnya dan menghuraikan kepada ummah segala apa yang telah diperintahkan Allah samada amalan perbuatan mahupun percakapan. Baginda s.a.w telah menerangkan bahawa untuk ibadah yang direka selepas kewafatan Baginda, segala bacaan dan amalan yang kononnya dilakukan menurut Islam, kesemua ini akan dicampakkan kembali kepada orang yang mencipta amalan tersebut, meskipun ia berniat baik.
Para Sahabat Nabi s.a.w tahu tentang hakikat ini, begitu juga para salaf selepas mereka. Mereka mengecam bid’ah dan menegahnya, sebagaimana telah dicatatkan dalam kitab-kitab yang menyanjung Sunnah dan mengecam bid’ah, ditulis oleh bin Waddah, al-Tartushi, bin Shamah dan lain-lain.
Antara amalan bid’ah yang direka manusia ialah menyambut hari pertengahan dalam bulan Syaaban (Nisfu Syaaban), dan menganjurkan puasa pada hari tersebut. Tidak ada nas (dalil) yang boleh dipercayai tentang puasa ini. Ada beberapa hadis dhaif telah dirujuk tentang fadhilat puasa ini, tetapi ianya tidak boleh dijadikan pegangan. Hadis-hadis diriwayatkan mengenai fadhilat doa sempena nisfu Syaaban kesemuanya adalah maudhu’ (rekaan semata-mata), sebagaimana telah diperjelaskan oleh sebahagian besar alim ulama. Kita akan lihat beberapa petikan dari ulasan para alim ulama ini.
Beberapa riwayat tentang hal ini telah dinukilkan daripada sebahagian ulama salaf di Syria dan lain-lain. Menurut jumhur ulama, menyambut nisfu Syaaban adalah bid’ah, dan hadis-hadis tentang fadhilat-fadhilat berkenaan hari tersebut adalah dhaif (lemah), sebahagian besar yang lain pula adalah maudhu’ (rekaan). Antara ulama yang memperjelaskan hal ini adalah al-Haafiz bin Rejab, di dalam kitabnya Lataa’if al-Ma’aarif, dan lain-lain. Hadis-hadis dha`if berkenaan ibadah hanya boleh diterimapakai untuk amalan ibadat yang terdapat menerusi nas-nas yang Sahih. Tidak ada asas yang Sahih bagi sambutan nisfu Syaaban, oleh itu hadis-hadis dha`if tersebut tidak dapat digunapakai.
Prinsip asas yang penting ini telah disebutkan oleh Imam Abu’l-‘Abbas Sheikh al-Islam bin Taymiyah (rahimahullah). Para alim ulama (rahimahumullah) telah sepakat bahawa apabila wujud perselisihan di kalangan umat, maka wajiblah merujuk kepada Kitab Allah dan Sunnah Rasulullah s.a.w. Apa-apa keputusan yang diperolehi daripada salah satu atau kedua-duanya adalah syariat yang wajib ditaati, sebaliknya apa-apa yang didapati bercanggah dengan kedua-duanya mestilah ditolak. Oleh itu sebarang amalan ibadat yang tidak dinyatakan di dalam kedua-dua (Qur’an dan Sunnah) adalah bid’ah dan tidak dibenarkan melakukannya, apatah lagi mengajak orang lain melakukannya atau mengiktirafkannya.
Sebagaimana Firman Allah (mafhumnya): “Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kamu kepada Allah dan taatlah kamu kepada Rasulullah dan kepada “Ulil-Amri” (orang-orang yang berkuasa) dari kalangan kamu. Kemudian jika kamu berbantah-bantah (berselisihan) dalam sesuatu perkara, maka hendaklah kamu mengembalikannya kepada (Kitab) Allah (Al-Quran) dan (Sunnah) RasulNya jika kamu benar beriman kepada Allah dan hari akhirat. Yang demikian adalah lebih baik (bagi kamu) dan lebih elok pula kesudahannya.” [al-Nisa’ 4:59]
“Dan (katakanlah wahai Muhammad kepada pengikut-pengikutmu): Apa jua perkara agama yang kamu berselisihan padanya maka hukum pemutusnya terserah kepada Allah; Hakim yang demikian kekuasaanNya ialah Allah Tuhanku; kepadaNyalah aku berserah diri dan kepadaNyalah aku rujuk kembali (dalam segala keadaan).”[al-Shura 42:10]. “Katakanlah (wahai Muhammad): Jika benar kamu mengasihi Allah maka ikutilah daku, nescaya Allah mengasihi kamu serta mengampunkan dosa-dosa kamu dan (ingatlah), Allah Maha Pengampun, lagi Maha Mengasihani.” [Aal ‘Imr.an 3:31]
“Maka demi Tuhanmu (wahai Muhammad)! Mereka tidak disifatkan beriman sehingga mereka menjadikan engkau hakim dalam mana-mana perselisihan yang timbul di antara mereka, kemudian mereka pula tidak merasa di hati mereka sesuatu keberatan dari apa yang telah engkau hukumkan dan mereka menerima keputusan itu dengan sepenuhnya.” [al-Nisa’ 4:65]
Banyak lagi ayat-ayat lain yang serupa maksudnya seperti di atas, yang menyatakan dengan jelas bahawa sebarang perselisihan wajib dirujuk kepada Qur’an dan Sunnah, seterusnya wajib mentaati keputusan yang diperolehi daripada kedua-dua Nas ini. Ini merupakan syarat iman, dan inilah yang terbaik untuk manusia di dunia dan di akhirat: “Yang demikian adalah lebih baik (bagi kamu) dan lebih elok pula kesudahannya” [al-Nisa’ 4:59 – mafhumnya] maksudnya ialah Hari Akhirat.
Al-Hafiz bin Rejab (R.A) menyebut di dalam kitabnya Lataa’if al-Ma’aarif tentang isu ini – setelah membincangkannya secara panjang lebar – “Malam Nisfu Syaaban asalnya diutamakan oleh golongan Tabi’in di kalangan penduduk Sham, antaranya Khalid bin Mi’dan, Makhul, Luqman bin ‘Amir dan lain-lain, di mana mereka beribadah bersungguh-sungguh pada malam tersebut. Orang awam menganggap bahawa malam tersebut adalah mulia kerana perbuatan mereka ini. Disebutkan bahawa mereka telah mendengar riwayat-riwayat Israiliyyat berkenaan kelebihan malam tersebut, sedangkan jumhur ulama di Hijaz menolak kesahihan riwayat ini, antara mereka adalah ‘Ata’ dan Ibnu Abi Malikah. ‘Abdul Rahman bin Zaid bin Aslam meriwayatkan fatwa ini daripada fuqaha’ (Ulama Ahli Fiqh) di Madinah, dan inilah pandangan ulama-ulama Maliki dan lain-lain. Kata mereka: semua ini adalah bid’ah…
Imam Ahmad tidak pernah diketahui menyebut apa-apa pun tentang (adanya sambutan) Malam Nisfu Syaaban… Tentang amalan berdoa sepanjang Malam Nisfu Syaaban, tidak ada riwayat yang sahih daripada Nabi (s.a.w) ataupun daripada Para Sahabat Baginda …”
Inilah apa yang telah disebutkan oleh al-Hafiz bin Rejab (R.A). Beliau menyatakan dengan jelas bahawa tidak ada langsung riwayat sahih daripada Rasulullah s.a.w mahupun daripada Sahabat-sahabat Baginda (R.A) mengenai Malam Nisfu Shaaban (pertengahan bulan Syaaban).
Dalam keadaan di mana tidak ada bukti shar’i bahawa apa-apa perkara itu disuruh oleh Islam, tidak dibenarkan bagi Umat Islam untuk mereka-reka perkara baru dalam agama Allah, tidak kiralah ianya amalan perseorangan ataupun berkumpulan, samada dilakukan secara terbuka mahupun tertutup, berdasarkan maksud umum hadith Rasulullah s.a.w: “Barangsiapa melakukan apa sahaja amalan yang bukan sebahagian daripada urusan kita ini [Islam], amalan itu akan tertolak.” Banyak lagi dalil yang menegaskan bahawa bid’ah mesti ditegah dan memerintahkan agar menjauhinya.
Imam Abu Bakr al-Tartushi (R.A) menyebut dalam kitabnya al-Hawadith wa’l-Bida’: “Ibn Waddah meriwayatkan bahawa Zayd bin Aslam berkata: Kami tidak pernah menemui seorang pun dari kalangan ulama dan and fuqaha’ kami yang memberi perhatian lebih kepada Malam Nisfu Shaaban, tidak ada juga yang memberi perhatian kepada hadith Makhul, atau yang beranggapan bahawa malam tersebut adalah lebih istimewa daripada malam-malam lain. Pernah ada orang mengadu kepada Ibnu Abi Maleekah bahawa Ziyad an-Numairi mengatakan bahawa pahala di Malam Nisfu Shaaban adalah menyamai pahala Lailatul-Qadar. Beliau menjawab, “Sekiranya aku dengar sendiri dia berkata begitu dan ada kayu di tanganku, pasti aku akan memukulnya (dengan kayu itu). Ziyad seorang pereka cerita.”
Al-Shaukani (R.A) berkata dalam al-Fawa’id al-Majmu’ah: “Hadith yang berbunyi: ‘Wahai ‘Ali, barangsiapa bersolat seratus rakaat di Malam Nisfu Shaaban, dengan membaca pada setiap rakaat Ummul Kitab [Surah al-Fatihah] dan Qul Huwallahu Ahad sepuluh kali, Allah akan memenuhi segala keperluannya…’ Hadis ini maudhu’ (rekaan semata-mata). Susunan katanya menyebut dengan jelas ganjaran yang akan diterima oleh orang yang melakukannya, dan tidak ada orang yang waras yang boleh meragui bahawa ‘hadis’ ini adalah rekaan. Lebih-lebih lagi, perawi dalam isnad hadis ini adalah majhul (tidak dikenali). ‘Hadis’ ini juga diriwayatkan melalui sanad yang lain, yang mana kesemua adalah direka dan kesemua perawinya adalah are majhul (tidak diketahui asal-usulnya).
Di dalam kitab al-Mukhtasar, beliau menukilkan: Hadith yang menyebut tentang solat di tengah bulan Syaaban adalah hadis palsu, dan hadis Ali yang diriwayatkan oleh Ibnu Hibban – “ Apabila tiba malam pertengahan Syaaban, penuhilah malamnya dengan solat dan berpuasalah di siang harinya” – adalah dhaif (lemah).
Di dalam kitab al-La’aali’ beliau berkata, “Seratus rakaat di pertengahan Syaaban, membaca (Surah) al-Ikhlas sepuluh kali di setiap rakaat… (hadis ini) adalah maudhu’ (direka), dan kesemua perawi dalam tiga isnadnya adalah majhul (tidak dikenali) dan dhaif (lemah). Katanya lagi: dan dua belas rakaat, membaca al-Ikhlaas tiga puluh kali setiap rakaat, ini juga adalah maudhu’; dan empat belas (rakaat), juga adalah maudhu’.
Beberapa orang fuqaha’ telah tertipu oleh hadis palsu ini, antaranya pengarang al-Ihya’ dan lain-lain, dan juga sebahagian ulama mufassirin. Solat khusus di malam ini – di pertengahan bulan Syaaban – telah diterangkan dalam pelbagai bentuk, kesemuanya adalah palsu dan direka-reka.”
Al-Hafiz al-‘Iraqi berkata: “Hadith tentang solat di malam pertengahan Syaaban adalah maudhu’, dan disandarkan secara palsu terhadap Rasulullah s.a.w.”
Imam al-Nawawi berkata di dalam bukunya al-Majmu’: “Sembahyang yang dikenali sebagai solat al-raghaa’ib, didirikan sebanyak dua belas rakaat antara Maghrib dan ‘Isyak pada malam Jumaat pertama di bulan Rejab, dan sembahyang sunat Malam Nisfu Shaaban, sebanyak seratus rakaat – kedua-dua sembahyang ini adalah bid’ah yang tercela. Sepatutnya orang ramai tidak tertipu disebabkan ianya disebut dalam Qut al-Qulub dan Ihya’ ‘Ulum al-Din, atau oleh hadis-hadis yang disebutkan dalam kedua-dua kitab ini. Kesemuanya adalah palsu. Orang ramai juga tidak sepatutnya tertipu disebabkan kerana beberapa imam telah keliru dalam hal ini dan menulis beberapa helaian yang menyebut bahawa sembahyang ini adalah mustahabb (sunat), kerana dalam hal ini mereka tersilap.”
Sheikh al-Imam Abu Muhammad ‘Abd al-Rahman bin Isma’il al-Maqdisi telah menulis sebuah kitab yang amat berharga, yang membuktikan bahawa riwayat-riwayat tersebut adalah palsu, dan jasa beliau sangatlah besar. Alim `ulama telah membincangkan hal ini dengan panjang lebar, dan sekiranya kami ingin memetik keseluruhan perbincangan tersebut untuk dicatatkan di sini, tentu akan mengambil masa yang sangat panjang. Mudah-mudahan apa yang telah disebutkan di atas sudah memadai bagi anda yang mencari kebenaran.
Daripada ayat-ayat Qur’an, hadis-hadis dan pendapat ulama yang dipetik di atas, sudah jelas bagi kita bahawa menyambut pertengahan bulan Syaaban dengan cara bersembahyang di malamnya atau dengan mana-mana cara yang lain, atau dengan mengkhususkan puasa pada hari tersebut, adalah bid’ah yang ditolak oleh jumhur ulama. Amalan tersebut tiada asas dalam syariat Islam yang tulen; bahkan ianya hanyalah salah satu perkara yang diada-adakan dalam Islam selepas berakhirnya zaman Sahabat (radhiallahu `anhum).
Amat memadai, dalam hal ini, untuk kita fahami kalam Allah (mafhumnya):
“Pada hari ini Aku telah sempurnakan agama kamu untukmu..…”[al-Ma’idah 5:3]. dan beberapa ayat yang seumpamanya; dan kata-kata Nabi s.a.w: “Barangsiapa yang mengada-adakan perkara baru dalam urusan (agama) kita ini yang (pada hakikatnya) bukan sebahagian daripadanya, tidak akan diterima” dan beberapa hadis yang serupa.
Dalam Sahih Muslim diriwayatkan bahawa Abu Hurarah (R.A) berkata: “Rasulullah s.a.w bersabda: ‘Janganlah kamu khususkan malam Jumaat untuk bersembahyang malam dan janganlah khususkan siang hari Jumaat untuk berpuasa, melainkan jika puasa di hari itu adalah sebahagian daripada puasa-puasa yang kamu amalkan berterusan-berterusan.’”
Seandainya dibenarkan untuk mengkhususkan mana-mana malam untuk amalan ibadah yang istimewa, sudah tentu malam Jumaat adalah yang paling sesuai, kerana siang hari Jumaat adalah hari yang paling baik bermula terbit mataharinya, sebagaimana disebutkan dalam hadis Sahih yang diriwayatkan daripada Rasulullah s.a.w. Memandangkan Nabi Muhammad s.a.w sendiri melarang dari mengkhususkan malam tersebut untuk bertahajjud, itu menandakan bahawa adalah lebih dilarang sekiranya dikhususkan malam-malam lain untuk sebarang bentuk ibadat, kecuali di mana terdapat nas yang Sahih yang mengkhususkan malam tertentu.
Oleh kerana telah disyariatkan untuk memenuhi malam Lailatul-Qadr dan malam-malam lain di bulan Ramadhan dengan bersolat, Rasulullah s.a.w memberi perhatian kepadanya dan menyuruh umatnya bersolat malam sepanjang tempoh tersebut. Baginda sendiri melaksanakannya, sebagaimana disebut dalam al-Sahihain, bahawa Rasulullah s.a.w bersabda: “Barangsiapa bersolat qiyam di bulan Ramadan dengan penuh iman dan mengharapkan pahala, Allah akan ampunkan dosa-dosanya yang telah lalu” dan “Barangsiapa memenuhi malam Lailatul Qadr dengan bersolat (sunat) disebabkan iman dan mencari pahala, Allah ampunkan kesemua dosanya yang telah lalu.”
Akan tetapi sekiranya disyariatkan untuk mengkhususkan malam pertengahan bulan Syaaban, atau malam Jumaat pertama di bulan Rejab, atau di malam Isra’ dan Mi’raj, dengan meraikannya ataupun dengan melakukan amalan ibadat yang khusus, maka sudah tentu Rasulullah s.a.w telah mengajar umatnya melakukannya, dan Baginda sendiri melakukannya. Jika pernah berlaku sedemikian, para Sahabat Baginda (R.A) pasti akan memperturunkan amalan amalan tersebut kepada umat terkemudian; tidak mungkin mereka menyembunyikan amalan daripada umat terkemudian, kerana mereka adalah generasi yang terbaik dan yang paling amanah selepas Rasulullah, radhiallahu `anhum, dan semoga Allah merahmati kesemua sahabat Rasulullah s.a.w.
Sekarang kita telah membaca sendiri kata-kata ulama yang dipetik di atas bahawa tidak ada riwayat daripada Rasulullah s.a.w mahupun Para Sahabat (R.A) berkenaan kelebihan malam Jumaat pertama bulan Rejab, atau malam pertengahan bulan Syaaban. Maka kita tahu bahawa menyambut hari tersebut adalah satu perkara baru yang dimasukkan ke dalam Islam, dan mengkhususkan waktu-waktu ini untuk amalan ibadat tertentu adalah bid’ah yang tercela.
Samalah juga dengan sambutan malam ke dua puluh tujuh bulan Rejab, yang mana disangkakan oleh sesetengah orang sebagai malam Isra’ dan Mi’raj; tidak dibenarkan mengkhususkan hari tersebut untuk amalan tertentu, atau meraikan tarikh tersebut, berdasarkan dalil yang dipetik di atas. Ini sekiranya tarikh sebenar Isra’ and Mi’raj telah diketahui, maka bagaimana sekiranya pandangan ulama yang benar adalah tarikh sebanar Isra’ and Mi’raj tidak diketahui! Pandangan yang mengatakan ianya berlaku pada malam ke dua puluh tujuh di bulan Rejab adalah riwayat yang palsu yang tiada asas dalam hadis-hadis sahih. Baik sekiranya seseorang itu berkata: “Perkara paling baik adalah yang mengikut jalan para salaf, dan perkara paling buruk adalah perkara yang diada-adakan.”
Kita memohon agar Allah membantu kita dan seluruh umat Islam untuk berpegang teguh kepada Sunnah dan menjauhi segala yang bertentangan dengannya, kerana Dialah yang Maha Pemurah, lagi Maha Penyayang. Semoga Allah merahmati Pesuruh dan UtusanNya, Nabi kita Muhammad s.a.w, serta kesemua ahli keluarga dan Para Sahabat baginda.
Ulasan dan terjemahan fatwa : www.darulkautsar.com
[Dipetik daripada Majmu’ Fatawa Samahat al-Sheikh ‘Abdul-‘Aziz bin Baz, 2/882]
Rujukan :
1 – http://e-malabari.net/ugama/nisfusyaaban.htm
2 – http://www.darulkautsar.com
Bacaan berkaitan :

Hadis Palsu Rejab, Sya’ban


Oleh : DR. MOHD. ASRI ZAINUL ABIDIN
(pensyarah Bahagian Pengajian Islam Universiti Sains Malaysia (USM))
Agama wajib dipelihara ketulenannya supaya tidak berlaku campur aduk antara rekaan manusia dan perintah Allah dan RasulNya. Jika agama boleh direkacipta, maka wahyu sudah tentu tidak diperlukan, juga Rasul tidak perlu diutuskan.
Oleh itu Islam mengharamkan pembohongan di atas nama agama. Kita melihat di akhir-akhir ini perkembangan yang lebih mendukacitakan, dimana adanya individu-individu tertentu yang tidak mempunyai latar belakang pengajian Islam atau sekadar sebulan dua di pusat pengajian tertentu kemudiannya muncul di tengah masyarakat dengan membawa huraian-huraian yang salah tentang Islam di sana-sini. Fonomena ini mendukacitakan kita, akhirnya manusia mengambil agama daripada golongan jahil lalu mereka diselewengkan.
Bahkan bukan sahaja golongan yang tidak pernah mengikut pengajian Islam membuat kesalahan dalam memetik dan menghuraikan hadith bahkan ada di kalangan yang menggunakan lebel nama sebagai ustaz juga sering membuat kesalahan dalam persoalan memetik dan menghuraikan hadith-hadith Nabi s.a.w.
Sebenarnya gelaran ustaz bukan bererti seseorang itu tahu segalanya dalam ilmu-ilmu Islam. Sebaliknya ada golongan yang digelar ustaz hanya kerana sepatah dua kalimat yang dihafalnya.
Berbalik kepada persoalan hadith, ramai di kalangan kita yang begitu tidak berdisplin dalam memetik hadith-hadith Nabi s.a.w., begitu juga dalam menghuraikannya. Sebahagiannya langsung tidak mengambil berat persoalan kethabitan iaitu kepastian di atas ketulenan sesebuah hadith. Apa sahaja yang dikatakan hadith terus sahaja dibacakan kepada masyarakat tanpa meneliti takhrij dan tahqiq (keputusan) para ulama hadith terhadap kedudukannya.
Lebih malang ada yang menyangka apa sahaja yang dikatakan hadith maka pastinya sahih dan wajib diimani. Dengan itu apa sahaja yang mereka jumpai daripada buku bacaan, yang dikatakan hadith maka mereka terus sandarkan kepada Nabi s.a.w. tanpa usul periksa, sedangkan mereka lupa akan amaran yang diberikan oleh baginda Nabi s.a.w. dalam hadith yang mutawatir:
“Sesungguhnya berdusta ke atasku (menggunakan namaku) bukanlah seperti berdusta ke atas orang lain (menggunakan nama orang lain). Sesiapa yang berdusta ke atasku dengan sengaja, maka siaplah tempat duduknya dalam neraka”(Riwayat al-Bukhari, Muslim, dan selain mereka) Hadith ini adalah mutawatir (lihat: Ibn al-Salah,`Ulum al-Hadith, m.s.239, cetakan: Dar al-Fikr al-Mu`asarah, Beirut)
Berbohong menggunakan nama Nabi s.a.w. adalah satu jenayah yang dianggap sangat barat di dalam Islam. Perbohongan atau berdusta menggunakan Nabi s.a.w. ialah menyandar sesuatu perkataan, atau perbuatan, atau pengakuan kepada Nabi s.a.w secara dusta, yang mana baginda tidak ada kaitan dengannya. Ini seperti menyebut Nabi s.a.w. bersabda sesuatu yang baginda tidak pernah bersabda, atau berbuat, atau mengakui sesuatu yang baginda tidak pernah melakukannya. Maka sesuatu yang dikaitkan dengan Nabi s.a.w. samada perkataan, atau perbuatan atau pengakuan, maka ianya disebut sebagai al-hadith. Namun menyandar sesuatu kepada Nabi s.a.w. secara dusta, bukanlah hadith pada hakikatnya, Cuma ianya disebut hadith berdasar apa yang didakwa oleh perekanya dan ditambah perkataan al-Maudu’, atau al-Mukhtalaq iaitu palsu, atau rekaan. Maka hadith palsu ialah:
“Hadith yang disandarkan kepada Nabi s.a.w secara dusta, ianya tidak ada hubungan dengan Nabi s.a.w.” (lihat: Nural-Din Itr, Manhaj al-Nadq fi `Ulum al-Hadith, m.s.301, cetakan: Dar al-Fikr al-Mu`asarah, Beirut)
Perbuatan ini adalah jenayah memalsu ciptakan agama, kerana Nabi adalah sumber pengambilan agama. Seperti seseorang yang memalsukan passport di atas nama sesebuah kerajaan. Ianya sebenarnya melakukan pembohongan dan jenayah terhadap kerajaan tersebut. Kedudukan Nabi s.a.w tentunya lebih besar dan agung untuk dubandingkan. Oleh itu dalam riwayat yang lain Nabi s.a.w. menyebut:
“Jangan kamu berdusta ke atasku, sesiapa berdusta ke atasku maka dia masuk neraka” (Riwayat al-Bukhari dan Muslim).
Kata al-Hafizd Ibn Hajar al-`Asqalani (meninggal 852H) dalam mengulas hadith ini:
“Ianya merangkumi setiap pendusta ke atas Nabi s.a.w. dan semua jenis pendustaan ke atas baginda. Maksudnya: Jangan kamu sandarkan pendustaan ke atasku (menggunakan namaku) (rujukan: Ibn Hajar al-`Asqalani, Fath al-Bari, jld 1, m.s. 270, cetakan: Dar al-Fikr, Beirut).
Bukan sahaja membuat hadith palsu itu haram, bahkan meriwayatkannya tanpa diterang kepada orang yang mendengar bahawa ianya adalah hadith palsu juga adalah sesuatu yang haram. Kata al-Imam Ibn al-Salah (meninggal 643H):
“Tidak halal kepada sesiapa yang mengetahui ianya hadith palsu meriwayatkannya dalam apa bentuk sekalipun, melainkan disertai dengan menerangkan kepalsuannya” (Ibn al-Salah,`Ulum al-Hadith, m.s.98)
Misalnya di tanahair kita, didapati apabila munculnya bulan Rejab dan Sya`aban maka hadith-hadith palsu mengenai mengenai bulan-bulan tersebut akan dibaca dan diajar secara meluas. Antaranya hadith:
“Rejab bulan Allah, Sya`aban bulanku dan Ramadhan bulan umatku”. Ini adalah hadith palsu yang direka oleh Ibn Jahdam. (lihat: Ibn Qayyim al-Jauziyyah, al-Manar al-Munif fi al-Sahih wa al-Dha`if, m.s. 95, cetakan: Maktabal-Matbu`at al-Islamiyyah, Halab, Syria)
Nama penuhnya Ibn Jahdam ialah `Ali bin `Abdillah bin Jahdam al-Zahid. Beliau meninggal pada tahun 414H. Beliau adalah seorang guru sufi di Mekah. Dia juga dituduh membuat hadith palsu mengenai solat Raghaib (iaitu solat pada jumaat pertama bulan Rejab). (lihat: al-Imam al-Zahabi, Mizan al-`Itidal fi Naqd al-Rijal,. 5, m.s. 173, cetakan: Daral-Kutub al-`Ilmiyyah, Beirut).
Sebab itulah al-Imam Ibn al-Salah (meninggal 643H) menyebut: Ada beberapa golongan yang membuat hadith palsu, yang paling bahaya ialah puak yang menyandarkan diri mereka kepada zuhud (golongan sufi). Mereka ini membuat hadith palsu dengan dakwaan untuk mendapatkan pahala. Maka orang ramai pun menerima pendustaan mereka atas thiqah (kepercayaan) dan kecenderungan kepada mereka. Kemudian bangkitlah tokoh-tokoh hadith mendedahkan keburukan mereka ini dan menghapuskannya. AlhamdulilLah. (Ibn al-Salah, `Ulum al-Hadith, m.s. 99)
Golongan penceramah, imam, khatib, dan media massa pula, ada menjadi agen menyebarkan hadith-hadith palsu mengenai amalan-amalan yang dikatakan disunatkan pada bulan-bulan tersebut. Kata al-Imam Ibn Qayyim al-Jauziyyah (wafat 751H):Hadith-hadith mengenai solat Raghaib pada jumaat pertama bulan Rejab kesemuanya itu adalah palsu dan dusta ke atas Rasulullah s.a.w. Begitu juga semua hadith mengenai puasa bulan Rejab dan solat pada malam-malam tertentu adalah dusta ke atas Nabi s.a.w. Demikian juga hadith-hadith mengenai solat pada malam Nisfu Sya`aban (kesemuanya adalah palsu). Solat-solat ini direka selepas empat ratus tahun munculnya Islam (Ibn al-Qayyim, al-Manar al-Munif, m.s. 95-98).
Sebenarnya hadith sahih mengenai kebaikan malam nisfu Syaaban itu memang ada, tetapi amalan-amalan tertentu khas pada malam tersebut adalah palsu. Hadith yang boleh dipegang dalam masalah nisfu Sy`aaban ialah:
“Allah melihat kepada hamba-hambaNya pada malam nisfu Syaaban, maka Dia ampuni semua hamba-hambaNya kecuali musyrik (orang yang syirik) dan yang bermusuh (orang benci membenci) (Riwayat Ibn Hibban, al-Bazzar dan lain-lain). Al-Albani mensahihkan hadith ini dalam Silsilah al-Ahadith al-Sahihah. (jilid 3, .m.s. 135, cetakan: Maktabah al-Ma`arf, Riyadh).
Hadith ini tidak mengajar kita apakah bentuk amalan malam berkenaan. Oleh itu amalan-amalan tertentu pada malam tersebut seperti baca Yasin, solat-solat tertentu adalah bukan ajaran Nabi s.a.w. Kata Dr. Yusuf al-Qaradawi dalam menjawab soalan berhubung dengan Nisfu Syaaban:
“Tidak pernah diriwayatkan daripada Nabi s.a.w. dan para sahabat bahawa mereka berhimpun di masjid pada untuk menghidupkan malam nisfu Syaaban, membaca do`a tertentu dan solat tertentu seperti yang kita lihat pada sebahagian negeri orang Islam. Bahkan di sebahagian negeri, orang ramai berhimpun pada malam tersebut selepas maghrib di masjid. Mereka membaca surah Yasin dan solat dua raka`at dengan niat panjang umur, dua rakaat yang lain pula dengan niat tidak bergantung kepada manusia, kemudian mereka membaca do`a yang tidak pernah dipetik dari golongan salaf (para sahabah, tabi`in dan tabi’ tabi`in). Ianya satu do`a yang panjang, yang menyanggahi nusus (al-Quran dan Sunnah) juga bercanggahan dan bertentang maknanya…perhimpunan (malam nisfu Syaaban) seperti yang kita lihat dan dengar yang berlaku di sebahagian negeri orang Islam adalah bid`ah dan diada-adakan.
Sepatutnya kita melakukan ibadat sekadar yang dinyatakan dalam nas. Segala kebaikan itu ialah mengikut salaf, segala keburukan itu ialah bid`ah golongan selepas mereka, dan setiap yang diadakan-adakan itu bid`ah, dan setiap yang bid`ah itu sesat dan setiap yang sesat itu dalam neraka.” (Dr. Yusuf al-Qaradawi, jilid 1, m.s. 382-383, cetakan: Dar Uli al-Nuha, Beirut).
Inilah kenyataan Dr. Yusuf al-Qaradawi, seorang tokoh ulama umat yang sederhana dan dihormati. Namun dalam masalah ini beliau agak tegas kerana ianya ternyata bercanggaha dengan apa yang dibawa oleh Rasulullah s.a.w.
Justeru itu hadith-hadith palsu mengenai Rejab dan Syaaban ini hendaklah dihentikan dari disebarkan ke dalam masyarakat. Kita perlu kembali kepada agama yang tulen. Hasil dari memudah-mudahkan dalam hal seperti ini maka muncullah golongan agama yang suka mendakwa perkara yang bukan-bukan. Dengan menggunakan nama agama segala rekaan baru dibuat untuk kepentingan diri dan kumpulan. Islam tidak pernah memberi kuasa kepada kepada golongan agama, atau sesiapa sahaja untuk mendakwa apa yang dia suka kemudian menyandarkannya kepada agama. Agama kita rujukannya ialah al-Quran dan al-Sunnah yang pasti kesabitannya mengikut yang diputuskan oleh para ulama hadith.
Kata al-Syeikh Muhammad bin Muhammad Abu Syahbah (seorang ulama hadith al-Azhar):
“Masih ada para penceramah yang tidak ada ilmu hadith, samada ilmu riwayat atau dirayah (mengenai teks hadith). Mereka hanya membaca hadith apa yang mereka hafal dan dari tulisan-tulisan tanpa mengetahui kedudukan hadith tersebut. Apa yang mereka pentingkan hanyalah reda orang ramai. Lalu mereka menyebut perkara yang berlebih-lebih, pelik dan ajaib yang Islam tiada kaitan dengannya. Mereka ini sepatutnya dihalang dari berceramah, memberi nasihat dan bertazkirah.” (Abu Syahbah, al-Wasit fi `Ulum wa al-Mustalah al-Hadith, m.s. 322, cetakan: Dar al-Fikr al-`Arabi, Kaherah)
Penulis menyeru diri sendiri, para penceramah, ustaz-ustaz, media elektronik dan cetak juga semua pihak yang membaca sesuatu hadith memastikan kesahihannya dahulu. Semoga Rejab dan Syaaban tahun ini tidak dibaluti dengan pembohongan terhadap Nabi s.a.w.

Tiada Nas Puasa Tiga Bulan

MEGA: Umat Islam digalakkan puasa sunat bulan Rejab dan Syaaban tetapi ada yang amalkan puasa tiga bulan iaitu dari bulan Rejab hingga Ramadan. Adakah ada dalil yang menyuruh berbuat demikian?

AHMAD HUSNI: Yang pertama nasihat saya kepada diri saya dan semua, agar melatih diri memahami sesuatu hukum terutama berkaitan ibadah secara jelas sebelum melakukannya. Dikhuatiri apabila ibadah itu dilakukan tanpa sandaran yang kukuh, ia akan tertolak.

Berkenaan puasa dalam ketiga-tiga bulan ini iaitu Rejab, Syaaban dan Ramadan berturut-turut sebenarnya tidak mempunyai asas pendalilan yang kukuh. Sebagaimana komentar oleh Ibnu Hajar al-Asqalani mengenai hadis-hadis tentang kelebihan berpuasa tiga bulan berturut-turut ini adalah hampir semuanya daif dan sebahagiannya maudhu' (palsu) dan tidak terlepas dari kritikan oleh para ulama hadis.

Antaranya ulasan Ibnu Qayyim al-Jauziyyah dalam kitabnya Al-Manar al-Munif bahawasanya ciri-ciri hadis puasa Rejab, Syaaban dan Ramadan berturut-turut adalah dikategorikan sebagai hadis yang tiada asal baginya.

Justeru, secara mudahnya kita dapat memahami dalam disiplin ilmu hadis sekalipun, hujahan hadis daif dalam perkara melibatkan hukum dan ibadat perlu dilihat dan diteliti terlebih dahulu. Jika terdapat hadis lain yang menyokong atau memperkuatkan maka boleh dinilai sebagai pembantu dalam hujah.

Namun pada masa yang sama terdapat beberapa hadis lain yang sahih memberi panduan kepada kita tentang puasa sunat ini yang seolah-olah mengisyaratkan perkara sebaliknya.

Contohnya, kita ambil hadis tentang puasa yang terbaik dikhabarkan oleh Nabi SAW ialah puasa Nabi Daud a.s yang bermafhum: Sebaik-baik puasa ialah puasa nabi Allah Daud a.s iaitu beliau berpuasa sehari dan berbuka sehari. (riwayat Bukhari).

Ini bermaksud perakuan nabi Muhammad SAW sendiri terhadap kondisi puasa yang terbaik iaitu secara berselang seli hari, juga sebagai jawapan kepada persoalan sahabat yang datang bertemu baginda SAW dan menyatakan mahu berpuasa berterusan tanpa berbuka.

Begitu juga terdapat larangan menyambung puasa dua hari berturut-turut kecuali dalam Ramadan yang disebut sebagai wisal. Nabi Muhammad SAW pernah bersabda: Janganlah kamu menyambung puasa antara satu hari dengan hari yang lain (wisal). Jika ada yang menyambungnya sekalipun hanyalah sekadar sampai ke waktu sahur berikutnya sahaja. (riwayat Bukhari No. 1963,1967, Abu Daud 2361 Dan Ahmad 10671, 11152).

Berdasarkan kaedah fiqh jika wujud pertembungan antara sesuatu arahan dengan larangan maka larangan itu diutamakan. Jadi dalam hal ini kita harus berlapang dada dan menerima dengan baik apa yang thabit dari Rasulullah tentang anjuran dan kaedah berpuasa sunat kerana yang terbaik adalah menurut sunah Rasulullah.

Walau bagaimanapun tidak dinafikan terdapat beberapa hadis yang warid mengenai pahala berpuasa dalam bulan Syaaban antaranya seperti yang diriwayatkan oleh Aisyah r.a dalam Sahih Bukhari bahawasanya beliau sering melihat Nabi berpuasa dalam bulan Syaaban.

Disebabkan ganjaran besar bagi yang berpuasa di bulan Rejab dan Syaaban, ada yang menunggu bulan-bulan ini untuk qada puasa Ramadan. Apakah hukum berbuat begini?

AHMAD HUSNI: Sekiranya seseorang itu meninggalkan puasa Ramadan kerana uzur syari'e, maka waktu baginya untuk mengqadakan puasa adalah bermula selepas Ramadan sehinggalah menjelang Ramadan tahun berikutnya. Justeru, tiada masalah bagi yang menangguhkannya untuk melaksanakan qada dalam bulan Syaaban.

Namun begitu, mengikut Abu Husain Yahya bin Abi al-Khair al-I'mrani dalam kitabnya Al-Bayan menyatakan sebaik-baiknya puasa qada itu disegerakan bahkan sunat dipercepatkan perlaksanaannya setelah berlalunya Ramadan.

Cuma ada sedikit peringatan yang diberikan oleh Dr. Yusuf al-Qardawi terutama dalam hal berkaitan dengan qada puasa dengan menyatakan bahawasanya manusia tidak memiliki umurnya sendiri dan tidak tahu bila ajal tiba.

Justeru adalah lebih baik disegerakan mengganti hutang kita dengan Allah sebelum tibanya ajal kerana hutang terhadap Allah adalah lebih berhak untuk ditunaikan dengan segera.

Akibat ghairah beribadat, ada isteri yang terlupa memberitahu suami untuk berpuasa sunat. Apa hukum puasanya?

AHMAD HUSNI: Puasanya tidak sah. Adalah wajib untuk si isteri memberitahu akan niatnya berpuasa dan meminta izin terlebih dahulu daripada suaminya kerana dikhuatiri suaminya berhajat untuk si isteri melayaninya. Jika suami tidak mengizinkan, maka sebagaimana kaedah fiqh sesuatu yang wajib jika bertembung dengan yang sunat maka yang wajib mesti diutamakan. Mentaati suami adalah wajib, manakala puasa itu pula adalah sunat.

Dalam hal ini terdapat satu hadis riwayat Imam Bukhari bahawasanya Rasulullah SAW pernah bersabda: Tidak halal bagi isteri berpuasa sunat sedangkan suaminya ada di sisinya melainkan dengan izin suaminya. Dalam lafaz yang lain dari Abu Daud: "Kecuali pada bulan Ramadan."

Justeru, perbuatan menurut kehendak suami itu tidak termasuk dalam hukum tidak harus mentaati jika arahan melakukan maksiat, kerana puasa yang ingin dilakukan adalah tathawwu' (sunat).

Tetapi jika puasa itu adalah puasa yang wajib seperti Ramadan maka hukum untuk tidak mentaati suami yang menyuruh kepada maksiat ini adalah terpakai dan wajib bagi si isteri melaksanakan perintah Allah dengan berpuasa.

Ada juga mereka terlupa berpuasa sunat bulan Syaaban, sehinggalah ke penghujung bulan. Bolehkah mereka berpuasa pada tarikh-tarikh begini (antara 29 dan 30 Syaaban @ disebut hari syak)?

AHMAD HUSNI: Dalam masalah ini terdapat beberapa perbincangan ulama yang wajar kita perhatikan. Pertama apakah yang dimaksudkan dengan Hari Syak? Dalam kitab Al-Fiqh al-Manhaji dan juga Al-Imrani dalam Al-Bayan daripada Al-Mas'uudi menyatakan bahawasanya yang dimaksudkan dengan hari syak itu ialah pada hari ke 30 Syaaban. Iaitu hari yang padanya wujud syak di kalangan masyarakat, sama ada telah masuk 1 Ramadan atau masih lagi berada dalam bulan Syaaban kerana tidak nampak anak bulan Ramadan atau kemungkinan rukyah tiada.

Dalam hal ini, puasa pada hari tersebut dianggap haram mengikut pandangan dalam Mazhab Imam al-Syafie dan beberapa sahabat Nabi SAW antaranya Umar al-Khattab, Ali, Ibnu Abbas, Ibnu Mas'ud dan Abu Hurairah. Bahkan hendaklah dianggap bahawasanya hari tersebut merupakan hari terakhir dalam Syaaban iaitu hari ke 30.

Ini berdasarkan kepada satu hadis yang sahih menurut pandangan Imam al-Tirmizi dan diriwayatkan juga oleh Abu Daud daripada hadis Ammar bin Yasir bahawasanya Rasulullah pernah bersabda: "Barang siapa yang berpuasa pada hari syak, maka sesungguhnya dia telah mengkhianati Aba al-Qasim (Nabi SAW)".

Ada juga ulama yang berpendapat sekiranya pada hari syak tersebut jatuh pada hari kebiasaan seseorang itu berpuasa sunat misalnya pada hari Isnin dan Khamis, atau kebiasaan berpuasa sunat sebelum pertengahan bulan Syaaban maka diharuskan berpuasa namun meninggalkannya adalah lebih baik dengan mengambil pendekatan keluar dari khilaf (al-Khuruj min al-Khilaf) dalam sesuatu masalah fiqh, bahkan ia adalah lebih disukai (mustahab).

Pendapat ini adalah bersumberkan satu hadis daripada Abu Hurairah bahawasanya Nabi SAW pernah bersabda: Jangan kamu mendahului bulan Ramadan dengan berpuasa sehari atau dua hari lebih awal, kecuali puasa yang berkebetulan dengan kebiasaan (adat) seseorang di kalangan kamu� (riwayat Bukhari 1914, Muslim 1082, Abu Daud 2335 dan al-Tirmizi 684.)

Soaljawab Syaaban

Soal:
Apakah hukum atau dari manakah asalnya amalan membaca yaasin 3 kali pada malam nisfu Syaaban. Adakah ada dalil yang jelas mengenai perkara ini.

Jawab:
Amalan nisfu Sya’aban adalah suatu perayaan yang direka berdasarkan nas-nas yang lemah dan mardud (tertolak). Inilah pendapat majoriti mujtahid hari ini antaranya Prof Qardhawi (Fatawa Mu’asirat), Syekh Sayyid Sabiq (Fiqh Sunnah), Prof Mutawalli Sya’rawi (anta Tasal), Dr Abdul Karim Zaidan (alMufassal) dan Prof TM Hasbi asSiddiqui (Sunnah dan Bid’ah). Amalan membaca Yaasin 3X pada malam nisyfu Sya’aban adalah bid’ah dan tidak ada nas yang menyokongnya. Amalan nisfu Sya’aban ini adalah adat Melayu dan ia bukan peristiwa yang disyari’atkan.

Soalan :
Adakah keistimewaan atau kelebihan hari atau malam nisfu syaban ?

Jawab:
Para pengkaji Sunnah mengesahkan fadhilat malam nisfu sya’ban ni tiada dasar dalam Islam. Malam yang diagung-agungkan itu sebenarnya malam lailatul Qadr sahaja. (lihat Dr Qardhawi, Fatawa Mu’asirat)

Soalan :
Bagaimana membaca yasin boleh mendatangkan bidaah, kan kita digalakkan untuk banyak membaca alquran, saya menjadi keliru dengan apa yang diceritakan

Jawab:
Kita sudah mengkaji dalam semua kitab-kitab fatwa dan laman web antaranya: islam Online, kitab Qardhawi: Fatawa Mu’asirat, Lujnah Daimah Arab saudi, Lujnah fatwa alAzhar, Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Ustaz Basri Ibrahim, Kusza…
Penjelasan:
Baca yaasin tidak bid’ah. Ia menjadi bid’ah bila dikaitkan dengan peristiwa dan malam-malam tertentu sedangkan amalan itu tidak diambil dari Nabi SAW.

Soalan :
Adakah terdapat nas sahih yang mengatakan pada malam nisfu syaban, catitan amalan untuk tahun lalu akan di bawa ke langit dan buku yang baru akan dibuka untuk amalan yang datang ?

Jawab:
Pendapat tersebut adalah Dha’if. Perkara di atas terdapat di dalam beberapa kitab tetapi nas atau sumbernya tiada yang sahih. Tiada ditemui sumber/nas sahih berkaitan perkara di atas setelah dilakukan kajian mendalam oleh berbagai pihak.

Soalan :
Apakah hukum berpuasa sunat selepas 15 Syaaban ?

Jawab:
Berkata Imam asSyawkani (Nailool Awthor, Jld 3/243),”jumhur ulama’ mengharuskan puasa sunat selepas 15 Sya’ban kerana larangannya datang dari hadis dha’ef.

AMALAN PUASA DI BULAN SYAABAN
Adalah disunatkan berpuasa di bulan Sya`ban sebagaimana yang diriwayatkan daripada Aisyah
Radhiallahu `anha berkata:
Maksudnya: “Adalah Rasulullah Shallallahu `alaihi wasallam berpuasa sehingga kami mengatakan baginda tidak berbuka, dan baginda berbuka sehingga kami mengatakan baginda tidak berpuasa. Saya tidak pernah melihat Rasulullah Shallallahu `alaihi wasallam menyempurnakan puasa satu bulan kecuali pada bulan Ramadan dan saya tidak pernah melihat baginda berpuasa lebih banyak daripadanya pada bulan Sya`ban.”
(Hadith riwayat Bukhari)
Rasulullah Shallallahu `alaihi wasallam emperbanyakkan berpuasa pada bulan ini adalah disebabkan oleh beberapa perkara sebagaimana yang diriwayatkan daripada Usamah bin Zaid berkata:
Maksudnya: “Wahai Rasulullah! Aku belum pernah melihat engkau berpuasa satu bulan daripada bulan-bulan sebagaimana (banyaknya) engkau berpuasa di bulan Sya`ban” Baginda bersabda: “Sedemikian itu kerana bulan Sya`ban, bulan yang manusia lalai (kerana terletak) di antara bulan Rajab dan bulan Ramadan, dan ia adalah bulan di mana diangkat padanya amalan-amalan manusia kepada Allah Rabbul `Alamin, maka aku suka supaya diangkat amalanku sedang aku di dalam keadaan berpuasa.” (Hadith riwayat An-Nasa’i)

Syaaban bulan qada puasa, muhasabah diri.

Oleh Endok Sempo Mohd Tahir.

CUMA lebih kurang dua minggu saja lagi kita akan meninggalkanSyaaban menuju Ramadan.Terasa baru sangat kita meraikan Syaaban, malahan secara adatnyabulan ini sering dikaitkan dengan dengan malam ke-15 iaitu malamNisfu Syaaban.Pada malam itu, amalan membaca tiga kali surah Yassin kedengaran dimasjid, surau dan rumah.Amalan ini masih diteruskan hingga hari ini walaupun tiada nas sahihmenyatakannya.Maka mengambil Nisfu Syaaban sebagai satu hari yang istimewa dandikaitkan dengan amalan tertentu adalah tidak disyariatkan olehAllah. Lantas apa sebenarnya yang disyariatkan dalam bulan Syaaban?Antara perkara yang disyariatkan pada bulan Syaaban ialahmenjelaskan hutang puasa yang tertinggal sebelum ini.Syaaban adalah bulan melangsai hutang. Jadi apabila masuk saja bulanini, perlulah kita mengingati hutang lama yang belum langsaiterutama bagi golongan Hawa.

Apakah hutang itu? Syaaban adalah bulan qada puasa bagi sesetengahkita terutama wanita. Wajib qada puasa Ramadan yang lalu dan kitatidak boleh menundanya hingga Ramadan berikutnya jika tidak adahalangan.Jika tidak menggantikannya, wajib baginya bertaubat atas kelalaianitu dan dia tetap diwajibkan menggantikan puasa berkenaan, malahanditambah membayar kafarat setiap hari yang ditinggalkan denganmemberikan beras kepada orang miskin.

Budaya bertangguh menggantikan puasa ini bukan baru bagi kita tetapisudah menjadi sebati dalam kehidupan umat Islam hari ini.Malah ada yang lebih teruk, puasa yang ditinggalkan itu tidakdigantikan kerana terlupa dan tidak sempat hendak diganti. Itulahalasan yang digunakan hari ini.Firman Allah bermaksud: "Dan sekali-kali, Tuhanmu tidak lalaidaripada apa yang kamu kerjakan". (Surah Hud, ayat 123).Namun kita masih belum terlambat untuk memperbaiki prestasi. Makaapabila sampai Nisfu Syaaban, ia patut dijadikan satu penanda jalanbagi kita untuk mengingat kembali hutang lama itu.Kita masih ada masa untuk menggantikan mana mana puasa yangtertinggal pada Ramadan lalu.Kita disunatkan untuk memperbanyakkan amalan puasa pada sepanjangSyaaban bukan hanya memperbanyakkan amal di Nisfu Syaaban sajakerana Rasulullah dulu selalu melakukannya.Dalam kitab As-Shahihain (Shahih Bukhari dan Muslim) ada hadis yangdiriwayatkan oleh Aisyah, dia berkata: "Aku belum pernah melihatRasulullah menyempurnakan puasa selama satu bulan penuh kecuali padabulan Ramadan, dan aku belum pernah melihat beliau memperbanyakkanpuasa dalam satu bulan kecuali pada bulan Syaaban".Hikmah diperintahkan untuk memperbanyakkan puasa pada bulan Syaabanantaranya ialah sebagai persediaan mental dan fizikal untuk melatihdiri membiasakan berpuasa di bulan Ramadan.Sudahkah kita memperbaiki diri sendiri untuk menghadapi Ramadan akandatang? Syaaban satu bulan yang mengandungi rahmat, bulanpengampunan dan balasan pahala yang tinggi.Bulan ini Syaaban juga yang dikenali sebagai bulan muhasabah diri.Muhasabah diri yakni memperbaiki dan melihat kembali watak dirisendiri.Memperbaiki sifat mazmumah seperti dengki, takbur dan sombong yangsemakin runcing dan menjadi amalan sebahagian daripada kita, umatIslam masa kini.Selain memperbaiki, digalakkan juga melihat kembali sifat mahmudah.Adakah kita selama 11 bulan lalu sudah memperbanyakkan amalan baikseperti ikhlas, reda dan sedekah.Tidak cukup dengan solat, puasa dan zakat tetapi masih tidakmemperbaiki sifat ikhlas dan reda.Apalah maknanya solat yang banyak tetapi tidak ikhlas? Seringberpuasa tetapi turut melihat perkara yang 'syubhah'. Setiap tahunkita mengerjakan haji untuk memperlihatkan dirinya mampu dansebagainya.Muhasabah diri kita sebelum Ramadan al-Mubarak. Bandingkan diridengan saudara kita di seluruh dunia yang kurang kemampuan sepertidi Afghanistan, Palestin, Iraq dan Kashmir.Hidup kita di sini penuh dengan nikmat dan keamanan jikadibandingkan dengan mereka.Firman Allah bermaksud: "dan orang yang sabar dalam kesempitan,penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang yang benar(imannya); dan mereka itulah orang yang bertaqwa". (Surah Al-Baqarah, ayat 177).Sementara itu, ada juga beberapa perkara yang tidak disyariatkan.Antaranya ialah mengkhususkan hari dan malam Nisfu Syaaban denganmelakukan puasa dan solat pada hari itu saja.Semua perbuatan itu tidak ada riwayat yang sahih daripadaRasulullah, juga tidak daripada sahabatnya.

Hal itu adalah perkara yang diada-adakan. Ada hadis yangdiriwayatkan oleh Ibnu Majah mengenai hal ini, katanya: "Jika datangmalam Nisfu Syaaban maka beribadatlah pada malam harinya danberpuasa pada siang harinya, sesungguhnya Allah Taala turun padahari itu saat matahari terbenam di langit dunia serayaberfirman: "Siapa yang meminta ampun akan Aku ampuni, siapa yangminta rezeki akan Aku beri rezeki, siapa yang sakit akan Akusembuhkan".