Thursday, October 28, 2010

BAITUL MAL

Baitul maal adalah lembaga khusus yang menangani lalu lintas harta yang diperoleh Negara.    Setiap harta yang berbentuk bangunan, barang tambang, uang maupun harta benda lain yang berhak dimiliki oleh kaum Muslim dan tidak dikuasai oleh individu tertentu, maka harta tersebut adalah hak bagi baitul maal.  Begitu pula dengan harta yang wajib dikeluarkan oleh setiap warga negara Daulah Islam yang dialokasikan untuk orang-orang yang berhak menerimanya, atau untuk kepentingan dakwah, urusan publik, dan kemashlahatan seluruh warga negara Daulah Islam,  maka harta semacam ini dikelola sepenuhnya oleh baitul maal. Oleh karena itu, baitul maal adalah lembaga yang bertugas menampung dan mendistribusikan harta yang menjadi bagian pendapat negara.
Institusi baitul maal didirikan pertama kali setelah turun firman Allah Swt surat al-Anfaal mengenai perselisihan para shahabat tentang pembagian ghanimah (rampasan perang] Badar :
يَسْأَلُونَكَ عَنِ اْلأَنْفَالِ قُلِ اْلأَنْفَالُ ِللهِ وَالرَّسُولِ فَاتَّقُوا اللهَ وَأَصْلِحُوا ذَاتَ بَيْنِكُمْ وَأَطِيعُوا اللهَ وَرَسُولَهُ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
“Mereka (para sahabat) akan bertanya kepadamu (Muhammad) tentang anfal, katakanlah bahwa anfal itu milik Allah dan Rasul, maka bertakwalah kepada Allah dan perbaikilah perhubungan di antara sesamamu, dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya jika kalian benar-benar beriman.” [al-Anfaal :1]
Diriwayatkan dari Said bin Zubair, bahwasanya ia berkata: ‘Aku pernah bertanya kepada Ibnu Abbas tentang surat al-Anfaal, lalu, ia berkata, “Surat al-Anfaal turun di Badar.’ Ghanimah Badar merupakan harta pertama yang diperoleh kaum Muslim setelah ghanimah yang didapat dari ekspedisi perang (sarayah) Abdullah bin Jahsyi. Pada saat itu Allah menjelaskan hukum pembagiannya dan menetapkannya sebagai hak seluruh kaum Muslim. Allah swt juga memberikan wewenang kepada Rasul saw untuk membagi-bagikannya dengan mempertimbangkan kemaslahatan kaum Muslim.  Ini menunjukkan bahwa ghanimah menjadi hak baitul mal.  Sedangkan pembelanjaan harta tersebut ditetapkan berdasarkan keputusan Khalifah dan diorientasikan untuk kemaslahatan kaum Muslim.
Hanya saja, pada jaman Nabi saw, baitul maal belum memiliki kantor khusus yang difungsikan untuk mengatur lalu lintas harta.   Sebab, pada saat itu harta yang diperoleh belum begitu banyak, dan biasanya langsung habis didistribuskan untuk kepentingan kaum Muslim.   Setiap mendapatkan harta ghanimah, Rasulullah saw segera membagikannya kepada kaum Muslim, dan beliau juga segera membagi-bagi khumus (1/5 bagian dari ghanimah) yang menjadi bagian dari beliau saw.  Handlalah bin Shaifiy, salah seorang penulis Rasulullah saw, meriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda, “Catat dan laporkanlah kepadaku semua harta yang masuk. Hal ini beliau ucapkan tiga kali. Handhalah berkata, ‘Suatu saat pernah tidak ada harta atau makanan apapun padaku selama tiga hari, lalu aku laporkan kepada Rasulullah.  Rasulullah sendiri tidak tidur, sementara di sisi beliau tidak ada apapun’.
Rasulullah saw juga biasa membagi-bagikan harta pada saat itu juga. Hasan bin Muhammad menyatakan, “Bahwasanya Rasulullah saw tidak pernah menyimpan harta, baik siang maupun malam.”
Apabila harta datang pada pagi hari, tidak sampai setengah hari harta tersebut sudah habis dibagikan. Demikian juga jika harta itu datang di siang hari, maka tidak pernah sampai tersisa hingga malam harinya. Oleh karena itu, tidak pernah ada harta tersisa yang memerlukan tempat penyimpanan atau arsip tertentu.
Keadaan tersebut terus berlangsung sepanjang masa Rasulullah saw. Ketika Abubakar menjadi Khalifah, cara seperti itupun berlangsung di tahun pertama kekhilafahannya. Jika datang harta kepadanya dari sebagian daerah kekuasaannya, maka ia membawanya ke Masjid Nabawi dan membagi-bagikannya di antara orang-orang yang berhak menerimanya. Kadang-kadang Khalifah Abubakar menugaskan Abu Ubaidah bin al-Jarrah untuk melakukannya. Hal ini dapat diketahui pada saat Abu Ubaidah berkata kepadanya: ‘Aku telah membagikan harta yang kamu berikan hingga tidak bersisa’. Baru pada tahun kedua kekhilafahannya, beliau mulai merintis cikal bakal baitul maal. Beliau mengalokasikan sebuah tempat di rumahnya untuk menyimpan harta yang masuk ke kota Madinah, kemudian membelanjakan semua harta yang ada di tempat tersebut untuk kaum Muslim dan kemaslahatan mereka.
Setelah Umar menjadi Khalifah menggantikan Abu Bakar ra, saat itu juga beliau mengumpulkan para bendaharawan dan masuk ke rumah Abu Bakar, seraya membuka baitul mal. Ia hanya mendapatkan satu dinar di dalamnya, itupun terjadi karena kelalaian petugasnya. Ketika penaklukan-penaklukan wilayah lain semakin banyak, dan kaum Muslim berhasil menaklukan negeri Persia dan Romawi, semakin banyak pula harta yang mengalir ke kota Madinah. Lalu, Khalifah Umar mendirikan bangunan khusus untuk menyimpan harta (baitul mal), membentuk bagian-bagiannya, menunjuk para penulisnya, menetapkan santunan untuk para penguasa dan untuk keperluan pembentukan tentara. Walaupun kadang-kadang beliau menyimpan seperlima bagian dari harta ghanimah di masjid, akan tetapi beliau segera membagi-bagikannya juga tanpa ditunda-tunda lagi. Ibnu Abbas berkata: ‘Umar pernah memanggilku. Ketika itu di hadapannya ada emas terhampar di lantai masjid, maka ia berkata: ‘Kemarikan emas itu dan bagikan kepada rakyat. Sesungguhnya Allah lebih Mengetahui telah terjadinya penahanan emas ini pada masa Nabi-Nya dan masa Abubakar.’ Lalu diberikannya pula kepadaku, apakah kebaikan atau keburukan yang dikehendaki-Nya’. Abdurahman bin Auf berkata: ‘Umar pernah mengutusku, ketika itu ia sudah terbungkuk (tua), lalu aku masuk dan ia menarik tanganku masuk ke dalam sebuah ruangan. Pada saat itu keadaannya sudah lemah, ia berkata: ‘Inilah lemahnya keluarga al-Khaththab di hadapan Allah, demi Allah seandainya kami memuliakan-Nya, maka jika kedua sahabatku (Muhammad saw. dan Abubakar) melaksanakan suatu perkara niscaya aku (pasti) mengikutinya.’ Selanjutnya Abdurrahman berkata: ‘Ketika aku melihat apa yang dibawa Umar, maka aku katakan: ‘Duduklah bersama kami wahai Amirul Mukminin, mari kita bertukar pikiran’. Ia berkata, lalu kami duduk dan menuliskan nama-nama penduduk Madinah, orang-orang yang berjuang di jalan Allah, isteri-isteri Rasul saw. dan yang selain dari itu.
Dari fragmen sejarah di atas bisa disimpulkan, bahwa kaum Muslim wajib memiliki baitul maal; yaitu, tempat untuk mengumpulkan, mengklasifikasi harta berdasarkan pos-pos pemasukan, sekaligus mendistribusikannya untuk kepentingan Islam dan kaum Muslim berdasarkan pos-pos yang telah digariskan oleh syariat.
Diwaan Baitul Maal
Al-Diwan (bagian-bagian dari lembaga) adalah suatu tempat di mana para penulis administrasi baitul mal berada, dan digunakan untuk keperluan penyimpanan arsip-arsip. Kadangkala yang dimaksud al-diwan adalah arsip-arsip itu sendiri, sehingga ada saling keterkaitan di antara kedua makna ini.
Bagian-bagian Baitul Mal yang Paling Awal Terbentuk
Diwan (bagian-bagian) baitul maal beserta tempat penyimpanan arsip pertama kali terbentuk pada masa kekhilafahan Umar bin al-Khaththab, yaitu pada tahun 20 Hijriyah.  Pada masa Rasulullah saw baitul mal belum memiliki bagian-bagian tertentu, walaupun beliau telah mengangkat beberapa penulis untuk mencatat harta. Beliau saw telah mengangkat Muaiqib bin Abi Fatimah al-Dausiy sebagai pencatat harta ghanimah, Zubair bin al-’Awwam sebagai pencatat harta zakat, Hudzaifah bin al-Yaman sebagai pencatat harga hasil pertanian daerah Hijaz, Abdullah bin Rawahah sebagai penaksir hasil pertanian daerah Khaibar, al-Mughirah bin Syu’bah sebagai pencatat hutang piutang dan aktivitas muamalah yang dilakukan oleh negara, serta Abdullah bin Arqam sebagai penulis urusan masyarakat yang berkenaan dengan kepentingan kabilah-kabilah dan kondisi pengairannya. Namun demikian, saat itu belum terbentuk bagian-bagian baitul mal dan juga belum ada tempat khusus untuk penyimpanan arsip maupun ruangan bagi para penulis. Keadaan seperti ini juga terjadi pada masa kekhilafahan Abubakar ra.
Pada saat Umar bin Khaththab menjadi Khalifah dan sejalan dengan makin bertambahnya penaklukkan-penaklukkan yang menyebabkan semakin banyaknya harta yang mengalir ke kota Madinah, maka kondisi ini menuntut pembentukan bagian-bagian dari baitul mal, penulisan arsip-arsip dan adanya tempat-tempat tertentu yang dikhususkan untuk penyimpanannya serta ruangan untuk para penulisnya.
Penyebab utama munculnya pemikiran untuk membentuk bagian-bagian baitul mal adalah peristiwa saat Abu Hurairah menyerahkan harta yang banyak kepada Khalifah Umar bin Khaththab yang diperolehnya dari Bahrain. Pada saat itu Umar bertanya kepadanya: ‘Apa yang engkau bawa ini?’ Abu Hurairah menjawab: ‘Aku membawa (harta) 500 ribu dirham’. Umar berkata lagi kepadanya: ‘Apakah engkau sadar apa yang engkau katakan? Mungkin engkau sedang mengantuk, pergi tidurlah hingga subuh.’ Ketika esoknya Abu Hurairah kembali kepada Umar maka beliau berkata kepadanya: ‘Berapa banyak uang yang engkau bawa?’ Abu Hurairah menjawab: ‘500 ribu dirham’ Umar berkata lagi: ‘Apakah (benar-benar) sebanyak itu ?’ Abu Hurairah menjawab: ‘Aku tidak tahu kecuali memang begitu’. Kemudian Umar naik mimbar, memuji Allah dan mengagungkan-Nya, seraya berkata: ‘Wahai manusia, sungguh telah datang kepada kita harta yang banyak, apabila kalian berkehendak terhadap harta itu, maka kami akan menimbangnya bagi kalian, dan apabila kalian ingin kami menghitungnya maka kami akan melakukannya untuk kalian’. Seorang laki-laki berkata: ‘Wahai Amirul Mukminin, buatlah bagian-bagian baitul mal untuk masyarakat, sehingga mereka dapat mengambil bagiannya dari sana.’ Al-Waqidi berkata bahwa Umar bin Khaththab bermusyawarah dengan kaum Muslim dalam pembentukan bagian-bagian baitul mal tersebut. Pada saat itu Ali berkata kepadanya: ‘Bagikanlah olehmu harta yang terkumpul kepadamu setiap tahun dan janganlah engkau tahan dari harta itu sedikitpun’. Utsman berkata: ‘Aku melihat harta yang banyak yang akan menghampiri manusia, jika mereka tidak diatur sampai diketahui mana orang yang sudah mengambil bagiannya dan mana yang belum, maka aku khawatir hal ini akan mengacaukan urusan.’ Al-Warid bin Hisyam bin al-Mughirah berkata: ‘Ketika aku di Syam aku melihat raja-rajanya membuat bagian tertentu pada kas negaranya serta membentuk struktur tentaranya dan hal tersebut senantiasa terjadi demikian.’ Mendengar keterangan tersebut, maka Khalifah Umar menyetujuinya. Kemudian ia memanggil beberapa orang keturunan Quraisy, yaitu ‘Uqail bin Abi Thalib, Mukharamah bin Naufal dan Jabir bin Muth’im, dan Umar berkata kepada mereka: ‘Tulislah oleh kalian nama seluruh orang berdasarkan kabilah-kabilahnya.’ Mereka melaksanakan perintah tersebut dengan memulai penulisan dari bani Hasyim, kemudian Abubakar dan kaumnya, Umar dan kaumnya serta diikuti dengan kabilah-kabilah lainnya. Setelah itu mereka menyerahkannya kepada Umar. Ketika Umar melihat hal itu beliau berkata: ‘Tidak, bukan ini yang aku maksud, tapi mulailah dari kerabat Rasulullah saw, yaitu yang paling dekat kepada beliau, maka tulislah kedudukannya itu sehingga kalian dapat menempatkan Umar sebagaimana Allah Swt telah menetapkannya.’
Bagian baitul mal yang berkaitan dengan santunan para penguasa dan tentara, seluruhnya ditulis dalam bahasa Arab. Adapun bagian yang mengatur pemasukan (al-Istifai) dan pembelanjaan harta (Jibayah) tidak ditulis dalam bahasa Arab, melainkan ditulis dalam bahasa daerah masing-masing; misalnya bagian Irak ditulis dalam bahasa Persia, sebagaimana yang terjadi pada masa kekuasaan Persia. Demikian juga negeri-negeri lain yang tunduk kepada kekuasaan Persia, bagian yang mengatur pemasukan kharaj, jizyah dan pembelanjaan hartanya ditulis dalam bahasa Persia. Untuk negeri Syam dan daerah-daerah yang tunduk kepada kekuasaan Romawi, maka bagian yang mengatur pemasukan kharaj, jizyah dan pembelanjaan hartanya ditulis dalam bahasa Romawi (sebagaimana halnya pada masa pemerintahan Romawi). Keadaan tersebut -baik untuk Irak maupun Syam- terus berlangsung dari masa kekhilafahan Umar bin Khaththab sampai masa Abdul Malik bin Marwan dari bani Umayyah. Pada tahun 81 H, bagian yang mengurus negeri Syam, penulisannya diuubah dengan bahasa Arab.
Diriwayatkan bahwa yang mendorong Abdul Malik bin Marwan melakukan perubahan penulisan tersebut, adalah terjadinya peristiwa di mana seorang penulis bagian itu -yang berbangsa Romawi- membutuhkan air untuk mengisi (ulang) penanya. Namun ia tidak mendapatkan air, lalu sebagai gantinya ia gunakan air seninya. Kejadian tersebut sampai kepada Khalifah Abdul Malik bin Marwan. Maka beliau memberinya sanksi, seraya memerintahkan Sulaiman bin Sa’ad untuk mengubah bagian tersebut dengan bahasa Arab. Beliau meminta Sulaiman untuk menghitung kharaj di Yordania selama 1 tahun. Sulaiman melakukannya dan menjadi Wali (gubernur) di Yordania. Pada saat itu kharaj yang diperoleh dari Yordania sebanyak 180 ribu dinar. Sulaiman telah menyelesaikan perubahan bagian tersebut dalam waktu tidak sampai setahun. Khalifah Abdul Malik bin Marwan mendatanginya dan memanggil seorang penulisnya yang bernama Sarjun. Beliau mempertimbangkan sesuatu kepadanya dan mendatangkan kesulitan (bagi Sarjun). Ia (Sarjun) keluar dari tempat itu dalam keadaan sedih. Tak lama kemudian sekelompok penulis Romawi menemuinya dan dia berkata kepada mereka: ‘Carilah (oleh kalian) pekerjaan selain pekerjaan ini, karena Allah telah memutuskannya dari kalian.’
Adapun bagian yang mengurus Irak, al-Hajjaj (Wali Abdul Malik bin Marwan di Irak) memerintahkan penulisnya yang bernama Shalih bin Aburrahman agar mengubah bagian itu dari bahasa Persia menjadi bahasa Arab. Saat itu Shalih menguasai kedua bahasa tersebut, lalu melaksanakan perintah itu seraya memuji al-Hajjaj sampai ia selesai melakukannya. Ketika hal tersebut diketahui oleh salah seorang penulis al-Hajjaj, yang berkebangsaan Persia –Muradansyah bin Zadaan Farukh–, maka dia berusaha menyuap Shalih dengan 100 ribu dirham agar Shalih tidak melakukan tugas itu, namun Shalih menolaknya. Bahkan Shalih berkata kepadanya: ‘Allah Swt telah memotong anggota badanmu dan memisahkanmu dari dunia seperti halnya engkau memutuskan nenek moyang Persia.’
Pembagian Dewan Baitul Mal
Baitul mal terdiri dari dua bagian pokok. Bagian pertama, berkaitan dengan harta yang masuk ke dalam baitul mal dan seluruh jenis harta yang menjadi sumber pemasukannya (pemasukan baitul mal). Bagian kedua, berkaitan dengan harta yang dibelanjakan dan seluruh jenis harta yang harus dibelanjakan.
I. Pendapatan Negara (Pemasukan Baitul Mal)
Di dalamnya tercakup bagian-bagian yang sesuai dengan jenis hartanya.
I.1. Bagian Fai dan Kharaj
Bagian ini menjadi tempat penyimpanan dan pengaturan arsip-arsip pendapatan negara. Meliputi harta yang tergolong fai bagi seluruh kaum Muslim, dan pemasukan dari sektor pajak (dlaribah) yang wajib dikeluarkan oleh kaum Muslim tatkala sumber-sumber pemasukan baitul mal tidak cukup untuk memenuhi anggaran belanja yang bersifat wajib, baik dalam keadaan krisis maupun tidak. Untuk keperluan ini dikhususkan suatu tempat di dalam baitul mal dan tidak dicampur dengan harta lainnya. Sebab, harta tersebut digunakan secara khusus untuk mengatur kepentingan kaum Muslim serta kemaslahatan mereka sesuai pendapat dan ijtihad Khalifah.
Bagian fai dan kharaj ini tersusun dari beberapa seksi sesuai dengan harta yang masuk ke dalamnya, dan jenis-jenis harta tersebut, yaitu:
1.    Seksi ghanimah, mencakup ghanimah, anfal, fai dan khumus.
2.    Seksi kharaj.
3.    Seksi status tanah, mencakup tanah-tanah yang ditaklukkan secara paksa (unwah), tanah ‘usyriyah, as-shawafi, tanah-tanah yang dimiliki negara, tanah-tanah milik umum dan tanah-tanah terlarang (yang dipagar).
4.    Seksi jizyah.
5.    Seksi fai, yang meliputi data-data pemasukan dari (harta) as-shawafi, ‘usyur, 1/5 harta rikaz dan barang tambang, tanah yang dijual atau disewakan, harta as-shawafi dan harta waris yang tidak ada pewarisnya.
6.    Seksi pajak (dlaribah).
I.2. Bagian Pemilikan Umum
Bagian ini menjadi tempat penyimpanan dan pencatatan harta-harta milik umum. Badan ini juga berfungsi sebagai pengkaji, pencari, pengambilan, pemasaran, pemasukan dan yang membelanjakan dan menerima harta-harta milik umum. Untuk (jenis) harta benda yang menjadi milik umum, dibuat tempat khusus di baitul mal, tidak bercampur dengan harta-harta lainnya. Ini karena harta tersebut milik seluruh kaum Muslim. Khalifah menggunakan harta ini untuk kepentingan kaum Muslim berdasarkan keputusan dan ijtihadnya, dalam koridor hukum-hukum syara.
Bagian pemilikan umum dibagi menjadi beberapa seksi berdasarkan jenis harta pemilikan umum, yaitu:
1.    Seksi minyak dan gas.
2.    Seksi listrik.
3.    Seksi pertambangan.
4.    Seksi laut, sungai, perairan dan mata air.
5.    Seksi hutan dan padang (rumput) gembalaan.
6.    Seksi tempat khusus (yang dipagar bagi negara-peny).
I.3. Bagian Shadaqah
Bagian ini menjadi tempat penyimpanan harta-harta zakat yang wajib, beserta catatan-catatannya.
Seksi-seksi dalam bagian (harta) shadaqah ini disusun berdasarkan jenis harta zakat, yaitu:
1.    Seksi zakat (harta) uang dan perdagangan.
2.    Seksi zakat pertanian dan buah-buahan.
3.    Seksi zakat (ternak) unta, sapi, dan kambing.
Untuk pos harta zakat ini dibuatkan tempat khusus di baitul mal, dan tidak bercampur dengan harta-harta lainnya. Karena Allah Swt telah menentukan orang-orang yang berhak menerima zakat hanya pada delapan golongan saja. Ketentuan ini didasarkan firman Allah swt:
]إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللهِ وَاِبْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِنَ اللهِ وَاللهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ[
Sesungguhnya shadaqah (zakat-zakat) itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang miskin, pengurus-pengurus zakat (amil), para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah (fi sabilillah) dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan (ibnu sabil), sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (TQS. at-Taubah [9]: 60)
Harta zakat tidak boleh dialokasikan kepada selain delapan golongan tesebut.
Inilah bagian-bagian baitul mal yang mengurusi pemasukan negara berdasarkan jenis harta yang diperoleh.
II. Bagian Belanja Negara
Adapun bagian kedua adalah bagian belanja negara, dan harta yang harus dibelanjakan oleh baitul mal untuk berbagai keperluan yang mencakup pembiayaan bagian-bagian baitul mal itu sendiri, seksi-seksinya, dan biro-biro berikut ini:
a. Seksi dar al-Khilafah, yang terdiri dari:
1. Kantor Khilafah.
2. Kantor Penasihat (Mustasyaarin).
3. Kantor Mu’awin Tafwidl.
4. Kantor Mu’awin Tanfidz.
b. Seksi Mashalih ad-Daulah, yang terdiri dari:
1. Biro Amir Jihad.
2. Biro para Wali (Gubernur).
3. Biro para Qadli.
4. Biro Mashalih ad-Daulah, seksi-seksi dan biro-biro lain, serta fasilitas umum.
c. Seksi Santunan
Seksi ini merupakan tempat penyimpanan arsip-arsip dari kelompok masyarakat tertentu yang menurut pendapat Khalifah berhak untuk memperoleh santunan dari negara. Seperti orang-orang fakir, miskin, yang dalam keadaan sangat membutuhkan, yang berhutang, yang sedang dalam perjalanan, para petani, para pemilik industri, dan lain-lain yang menurut Khalifah mendatangkan maslahat bagi kaum Muslim serta layak diberi subsidi. Tiga seksi tersebut (a, b dan c) memperoleh subsidi dari badan fai dan kharaj.
d. Seksi jihad, meliputi:
1.    Biro pasukan, yang mengurus pengadaan, pembentukan, penyiapan dan pelatihan pasukan.
2.    Biro persenjataan (amunisi).
3.    Biro industri militer.
Biro-biro ini dibiayai dari pendapatan yang diperoleh seluruh bagian dari baitul mal (yaitu dari bagian fai dan kharaj, pemilikan umum, dan zakat). Demikian pula biro-biro ini dibiayai dari harta pemilikan umum yang dikuasai negara dan juga dari pendapatan zakat, karena termasuk ke dalam salah satu golongan (fi sabiilillah) dari delapan golongan yang terdapat dalam ayat :
]إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللهِ وَاِبْنِ السَّبِيلِ[
Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang mis-kin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (me-merdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan. (TQS. at-Taubah [9] : 60)
e. Seksi penyimpanan harta zakat
Badan ini dibiayai dari pendapatan seksi zakat dalam kondisi adanya harta zakat.
f. Seksi penyimpanan harta pemilikan umum
Seksi ini dibiayai dari pendapatan pemilikan umum berdasarkan pendapat Khalifah sesuai di dalam koridor hukum-hukum syara.
g. Seksi urusan darurat/bencana alam (ath-Thawaari)
Seksi ini memberikan bantuan kepada kaum Muslim atas setiap kondisi darurat/bencana mendadak yang menimpa mereka, seperti gempa bumi, angin topan, kelaparan dan sebagainya. Biaya yang dikeluarkan oleh seksi ini diperoleh dari pendapatan fai dan kharaj, serta dari (harta) pemilikan umum. Apabila tidak terdapat harta dalam kedua pos tersebut, maka kebutuhannya dibiayai dari harta kaum Muslim (sumbangan sukarela atau pajak).
h. Seksi anggaran belanja negara (al-Muwazanah al-Ammah), pengendali umum (al-Muhasabah al-Ammah) dan badan pengawas (al-Muraqabah)
Al-Muwazanah al-Ammah adalah badan yang mempersiapkan anggaran pendapatan dan belanja negara yang akan datang -sesuai dengan pendapat Khalifah-, yang berkaitan dengan besar kecilnya pendapatan dan pembelanjaan harta yang dimiliki negara. Hal ini dilakukan dengan mempertimbangkan pendapatan dan belanja riil secara umum, serta mengikuti fakta pendapatan dan belanja negara yang sedang berjalan secara rinci. Badan ini merupakan dewan dari kantor Khilafah.
Al-Muhasabah al-Ammah adalah badan yang mengendalikan semua harta negara. Dengan kata lain merupakan badan yang bertugas memeriksa harta negara dari segi keberadaannya, keperluannya, pendapatannya, pembelanjaannya, realisasinya dan pihak-pihak yang berhak menerimanya.
Al-Muraqabah adalah badan yang bertugas mengawasi dan meneliti secara mendalam bukti-bukti hasil pemeriksaan harta negara dan peruntukannya dari al-Muhasabah al-Ammah. Badan ini harus benar-benar melakukan fungsi pengawasan terhadap harta negara, yaitu meyakinkan ada tidaknya harta, sah tidaknya harta yang ada, keperluan-keperluannya, pendapatannya, pembelanjaannya serta memeriksa para penanggungjawabnya yang berkaitan dengan perolehan, peruntukan dan pembelanjaan harta tersebut. Badan inipun bertugas memeriksa urusan administrasi semua badan-badan dan biro-biro negara beserta staf-stafnya.
Inilah bagian-bagian keuangan negara Khilafah secara umum. Adapun dalil keberadaannya adalah bahwasanya bagian-bagian ini merupakan salah satu bentuk dari urusan administrasi dan tergolong sarana yang akan mempermudah melakukan aktivitas kenegaraan. Rasulullah saw telah mengatur masalah adminisrasi negara secara langsung oleh beliau sendiri, dan beliau juga mengangkat para penulis untuk urusan tersebut. Hal ini beliau lakukan, baik yang berhubungan dengan urusan harta maupun urusan lainnya. Telah diungkapkan sebelumnya dalam pembahasan ‘Bagian-bagian Baitul Mal yang Paling Awal Terbentuk’ tentang kenyataan bahwa Rasulullah saw mengangkat mereka sebagai penulis untuk urusan harta.
Ayat-ayat dan hadits yang bertutur tentang harta anfal, ghanimah, fai, jizyah dan kharaj , dan nash-nash yang menerangkan bahwa, semua harta tersebut menjadi hak kaum Muslim yang dipungut dari orang-orang kafir; dan juga semua ayat dan hadits yang menunjukkan wajibnya zakat (termasuk peruntukannya) dan hadits-hadits yang bertutur tentang harta pemilikan umum; seluruhnya menunjukkan –dengan dalalatu al-iltizam– bolehnya menetapkan bentuk administrasi tertentu yang digunakan untuk pemungutan, penyimpanan, penulisan, pembelanjaan dan pembagian harta. Sebab, bentuk-bentuk administrasi tersebut merupakan cabang dari permasalahan pokok, sehingga bisa dimasukkan di dalamnya. Oleh karena itu, dalam urusan seperti ini, Khalifah berhak mengaturnya sesuai dengan pendapatnya, mulai dari pengaturan cara pemungutan, pengendalian, pemeliharaan, pendistribusian serta pembelanjaan harta. Kenyataannya, pemakaian dan perumusan bagian-bagian dari baitul mal telah terjadi pada masa Khulafa ar-Rasyidin.  Semua itu berlangsung dengan disaksikan, diketahui dan didengar oleh para sahabat tanpa ada penolakan seorangpun dari mereka.   Ini menunjukkan adanya kesepakatan (ijma’) para shahabat atas perkara tersebut, dan ijma’ shahabat merupakan dalil syariat yang telah diakui keabsahannya

No comments: